6

11 4 0
                                    

Radit dan Naufal kini berada di rumah Radit. Radit yang memaksa untuk ke rumahnya, Naufal pun hanya bisa mengiyakan.

Naufal berkali kali terpekik kaget, ketika kapas yang sudah diolesi obat merah itu datang ke lukanya. Radit tidak hati-hati, jadi Naufal terus memarahi Radit.

"Sakit, anjing!" Lagi, Radit menerima pukulan kuat dari lelaki manis di sebelahnya. Ia hanya menyengir, senang melihat Naufal marah. Lelaki itu akan semakin manis ketika marah.

"Ini udah hati hati," balas Radit pelan.

"A-aw! Jangan ditekennn," Radit menggeleng, ia sama sekali tak menekan luka Naufal dengan kapas berbalut obat merah. "Boong, lo geleng geleng gitu soalnya lo gatau kalo ini beneran sakit," Naufal memukul kepala Radit kuat karena saking kesalnya.

"Dengan kamu memukul kepalaku, itu juga sakit. Kita impas,"

"Ga, ga impas, lebih sakitan luka gue, sialan!"

"Udah, ga perlu marah, mulutmu penuh umpatan yang tak elok dikatakan,"

"Biarin."

•○●

"Abang, Ian kok ga ikut?" Aksa sudah berganti seragam sekolahnya menjadi pakaian rumah. Ia habis pulang dari sekolah, dan sedikit terkejut ketika Naufal berada di rumahnya.

"Ian tidur," jawab Naufal tak peduli. Ia sedang memainkan ponselnya, sangat fokus sekali. Sedangkan Aksa hanya mengangguk percaya.

Radit terus memerhatikan Naufal yang tengah bermain ponsel. Ia terkadang tersenyum, kadang juga tertawa melihat berbagai ekspresi yang dikeluarkan Naufal.

Naufal sudah terlihat baik, ia juga sudah tidak memusingkan para preman tadi yang melecehkan paha seksinya. Tapi kalau tidak sengaja teringat, mood nya tanpa sadar akan berubah menjadi buruk.

"Nontonin apa sih? Fokus amat, neng," Radit tersenyum menggoda sembari menjawil dagu Naufal.

Naufal mendelik kaget, ia menolehkan kepalanya ke samping guna menatap Radit. "Bisa diem, ga?" Radit tersenyum lalu menggeleng. Ia dengan senang hati menerima semua hinaan dan mungkin beberapa pukulan dari Naufal.

Belum jadi apa apa saja sudah bucin. "Besok lagi ga usah bolos, ngerti?" Ujarnya tiba tiba. Naufal menatap Radit malas. Enak saja si Radit enteng banget bilang begitu. Dikira semua guru menyenangkan kali ya?

"Siapa lo seenaknya ngatur ngatur gue,"

"Suami. Kenapa?" Radit kembali tersenyum jahil, ia mencubit pipi Naufal yang terlihat sangat gembil itu. Sedangkan Naufal kembali memukul Radit, namun pipinya merona, memerah karena malu atas ucapan Radit.

"Lo goda gue sekali lagi, gue pulang," ancamnya dengan nada kesal yang kentara. Naufalpun memilih untuk menjauhi Radit, ia menjadi duduk di pojok sofa yang sebelumnya berada di tengah.

Radit tak ingin kalah, ia justru semakin mendekatkan diri pada Naufal. Dan menunggu apa yang akan pemuda itu keluarkan. "Radiiit, cukup ya, gue mau fokus nonton live pertandingan bola sepak dulu, ih!"  Naufal menghentakkan kakinya lucu, tanda bahwa ia benar benar kesal sekarang.

"Aku mau ikut liat, boleh?" Naufal menggeleng, wajahnya masih masam, namun pandangannya tetap memandang ponselnya fokus.

"Kenapa ga boleh?" Naufal diam, ia tak berniat membalas pertanyaan Radit. Lebih baik menonton live pertandingan ketimbang mengurusi omong kosong dari teman pendiamnya itu.

"Naufal... hei," Radit memanggil lembut. Ia tersenyum gemas melihat wajah cemberut Naufal. "Lihat, ada yang merajuk," mau bagaimanapun, Naufal sudah malas menanggapi semua yang dibicarakan oleh Radit.

"Fal, hadap sini coba," Naufal menggeleng.

"Fal," 

"Diem ih!" Radit menghela napas. Baiklah, mungkin memang tak baik menggoda anak orang bahkan sampai orang itu kesal.

Beberapa saat kemudian, live pertandingan sepak bola yang ditonton Naufal sudah selesai. Naufal mematikan ponselnya lalu menatap Radit. "Dit, gue mau pulang deh," mendengar temannya berujar, Radit menengokkan kepalanya ke arah Naufal. "Ku anterin, yuk," Radit bangkit dari duduknya. Namun dicegah oleh Naufal.

"Tap-" sebelum berkata, Radit sudah memotong omongan Naufal. "Ga ada penolakan. Ayo." Naufal mengerucutkan bibirnya lalu mengangguk. Mau ditolak pun hasilnya tetap sama, percuma.

•○●

"Radit, bawain gue permen dong, gue lagi ada di rooftop nih," ujar Naufal pada Radit lewat telepon lalu tanpa menunggu jawaban, teleponnya ia matikan sepihak. Ia sedang merokok dan juga menikmati pemandangan kota di atas gedung sekolah.

Naufal tak ingin kembali ke kelas saat ini. Ia merajuk, kesal dengan salah satu guru yang mengajar. Sudah banyak guru yang memperlihatkan sifat benci padanya. Ia sakit hati, jadi ia memutuskan untuk tak kembali ke kelas terlebih dahulu.

Ini sudah ke sekian kalinya ia membolos. Alasannya kalau bukan malas, berarti ya gara gara guru mapel yang mengajar. Naufal ingin mengadu pun tak tau harus mengadu pada siapa.

Sebenarnya teman Naufal sangat banyak, dan sebelumnya pun Naufal sudah pernah bercerita dengan mereka. Tapi teman-teman Naufal memilih untuk tidak peduli. Jadi Naufal hanya bisa terima nasib.

Ia tak tau, alasan sebenarnya kenapa para guru membenci dirinya. Dari segi nilai, nilai Naufal sudah cukup bagus, kalau kenakalan, Naufal memang nakal, tapi ia tak senakal itu bila dibandingkan orang yang keluar masuk bk.

Setelah lama menunggu, Radit datang membawa beberapa bungkus permen. Permen itu dikantongi oleh kresek transparan. Naufal memandang para permen tersebut dengan mata berbinar.

"Wah, permen yang lo bawa banyak banget," ketika Radit sudah duduk di sebelahnya, Naufal segera merebut kresek transparan dari tangan Radit. Namun Radit kembali mengambil kresek yang sudah berada di tangan Naufal.

"Bilang dulu, kenapa tadi pas pelajaran pertama kamu ga ada di kelas. Jangan bilang aku ga tau ya," Radit menyembunyikan kresek berisi permen kesukaan Naufal di belakang punggungnya. Ia menatap Naufal dengan tatap mengintimidasi.

"Gue ada di kelas kok," jawab Naufal yang kentara sekali sedang panik. "Bohong. Aku tadi lewat kelas mu ketika aku membantu guru membawakan buku. Lalu kedua, aku sempat pamit ke toilet sebentar, itu juga lewat kelasmu dan bangkumu masih sama, kosong."

Naufal seketika menundukkan kepalanya. Ia memainkan jarinya gugup. "Dit, gue- gue bener itu, anu... gue, iya, gue bolos lagi..." katanya gugup. Dengan takut ia menatap mata Radit. Sedangkan Radit menghela napas.

"Kenapa bolos lagi?"

"Ga suka sama pak Masir...." Naufal menundukkan kepalanya lagi. Entah kenapa tatapan Radit membuatnya sangat takut dan gugup, padahal temannya itu hanya menatapnya biasa.

"Pak Masir kenapa, coba beri tau," Radit melembutkan tatapannya. Ia memegang dagu Naufal dan membawa kepala anak itu untuk menghadapnya.

"Gue, umm, ga tau, ga mau beri tau," Naufal tetap memandang Radit setelah menggelengkan kepalanya pelan. Ia tak ingin ditertawakan Radit kalau ia menceritakan yang sebenarnya.

Radit menghela napas untuk kesekian kalinya. Ia mengusap rambut Naufal pelan. "Nanti masuk ya? Bolos itu ga baik," Naufal mengangguk walau ia tak berjanji untuk menuruti perintah Radit.

"Nah sebelum bel masuk bunyi, ini, permenmu." Radit baru saja akan mengambil kresek permen di belakang punggungnya. Tetapi gerakan Naufal lebih cepat. Ia mencodongkan tubuhnya dan mengambil dengan kasar permen di belakang Radit.

Dan, yang terjadi adalah, bungkus rokok milik Naufal yang berada di sakunya terjatuh.

Sunshine Becomes YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang