12

10 2 0
                                    

Pagi hari di hari Selasa. Radit kini tengah panik. Mengapa demikian, karena ia lupa memasang alarm untuk bangun pagi. Bundanya juga tak sempat membangunkan dirinya karena wanita berkepala empat tersebut sibuk memasak sarapan untuk keluarga.

Ia terbangun ketika jarum jam menunjukkan angka enam lewat tiga puluh menit. Itupun Radit terbangun karena suara ribut milik Aksa. Adik Radit itu terus berteriak kesakitan lantaran giginya yang seharusnya sudah lepas namun belum juga terlepas.

Suara Aksa sangat keras, itulah mengapa Radit terbangun. Dilihatnya jam di dinding, pemuda tersebut membelalakkan matanya terkejut. Bangkit dari ranjang, tak lupa mengambil handuk lalu segera berlari menuju kamar mandi.

Usai mandi, Radit turun tangga rumahnya dengan tergesa gesa. Ia bahkan tak sempat memakan sarapan yang sudah dibuat oleh sang Ibu. Berpamitan pun tidak.

Menaiki motor ninjanya dengan kecepatan tinggi, sepuluh menit sampailah ia di sekolahnya.

Sepi.

Radit menghela napas, sial sekali kenapa harus terlambat sih?

Selanjutnya pemuda itu berjalan ke kelasnya, sampai di depan pintu kelas, Radit mengetuk pintu tersebut. Menunggu sang guru keluar, pikiran Radit tak bisa tenang. Ia tak mau dihukum.

"Kenapa terlambat?" Tanya guru yang sedang mengajar tiba tiba. Radit tidak ngeh bahwa guru itu sudah berdiri tepat di hadapannya. "Maaf bu, saya kesiangan. Alarmny-" belum selesai kalimat permintaan maaf diucapkan, guru di hadapan Radit sudah menyela,

"Berdiri tepat di depan tiang bendera sambil hormat, selama pelajaran saya. Setelahnya, masuklah kembali ke kelas ini dan meminta maaf pada guru yang sedang mengajar nanti." Ujar guru itu, Radit membelalakkan matanya kaget. Hei, permintaan maafnya ditolak nih?

Radit mau tak mau mengangguk. Ia setelahnya menghela napas melihat guru itu masuk ke kelasnya lagi. "Ya ampun, nasib, nasib."

Membalikkan badan, Radit berjalan dengan lesu menuju lapangan sekolah. Tak lama kemudian, dirinya sudah dekat dengan tiang bendera tersebut. Melihat ada seseorang yang juga terlihat sedang dihukum, Radit menyipitkan matanya guna melihat secara jelas siapakah pemuda itu.

Tak salah lagi, orang tersebut adalah si lelaki manis. Siapa lagi kalau bukan Naufal. Radit sumringah, ia berlari ke tiang bendera untuk menjumpai teman manisnya dan juga untuk memenuhi hukuman yang diberikan oleh guru tadi.

Radit menepuk pundak Naufal. Yang ditepuk menolehkan kepalanya ke samping kiri. "Dit? Ngapain lo di sini anjir," Naufal memasang wajah bingungnya. Ini seperti mustahil, anak serajin Radit dihukum, perhatikan, di.hu.kum. Siapa yang tidak terkejut coba.

"Terlambat. Kamu sendiri ngapain di sini?" Radit memerhatikan wajah Naufal. Ketika melihat ada butiran air sebesar biji jagung di pelipis anak itu, ia sempatkan untuk mengusapnya.

"Sampe keringetan gini, pasti udah lama, kan." Radit juga merapikan sedikit rambut milik Naufal. Tak lupa mengusak rambut itu. Ia tersenyum. "Manis," gumamnya tanpa sadar.

Naufal mengerucutkan bibirnya. Ia kembali menghadap bendera. "Nilai ulangan gue minggu lalu sama kemarin Senin hasilnya jelek, terus gue lupa ngerjain pr yang dikasih sama guru yang sama," setelah curhat secuil pada temannya, Naufal mendengus kesal.

"Kenapa bisa lupa?" Tanya Radit lembut. Ia tak bisa menahan gemasnya lagi, dicubitlah pipi gembil milik Radit itu. "Main game." Jawab Naufal pelan.

"Pantas saja," respon Radit singkat. Ia sebenarnya tidak tega melihat teman manisnya ini berkeringat. Apalagi matahari sedang terik teriknya. Tapi ya, mau gimana lagi. Masa kabur?

"Diit," Naufal menengokkan kepalanya kepada Radit. Wajah dengan ekspresi kesal bercampur lelah terpasang diwajahnya. "Kenapa, hm?" Guna melayani ujaran ujaran yang akan dikeluarkan oleh Naufal, Radit turut serta menatap wajah teman manisnya itu.

"Bolos aja, ayoo," Naufal berkata sembari menggoyang goyang manja lengan Radit. Sedangkan Radit, ia mengangkat satu alisnya bingung. Apa tadi, bolos?

"Naufal mau bolos?" Mendengar pertanyaan itu, Naufal segera menganggukkan kepalanya semangat. Ia menatap Radit dengan binaran matanya yang sungguh, terlihat sangat cantik. "Ayo, temenin gue bolos," ia tersenyum manis. Berharap Radit luluh dengan ajakannya.

"Memangnya mau kemana,"

"Ga tau. Yang penting ayo kabur dari sini. Gue kepanasan tau. Emang lo rela, temen lo yang ganteng paripurna ini jadi item, gosong, jelek, dan tidak bersinar lagi?" Ocehnya sudah seperti rapper handal. Cepat sekali.

Radit berpikir sebentar. Ia juga tidak rela kalau Naufal nantinya malah pusing karena terus menerus terkena sinar matahari. Juga kalau temannya itu pingsan, bisa berabe dirinya, khawatir pada kondisi Naufal.

"Memang tau jalan keluar selain gerbang masuk?" Naufal tersenyum bahagia. Ia mengangguk serta menggeret tangan Radit. Dengan langkah cepatagar tidak ketahuan guru, mereka berdua sampai di belakang sekolah. Bersebelahan dengan gudang, terdapat tembok yang tidak terlalu tinggi. Yang juga pada akhirnya menjadi spot para siswa untuk membolos.

"Ayo naik tembok ini," Naufal menepuk nepuk tembok yang sedikit kotor di sebelahnya. "Kamu aja duluan," Radit mempersilahkan Naufal untuk keluar pertama. Ia tak masalah, meski ia tergolong orang yang rajin, memanjat bukanlah hal yang sulit. Saat kecil hobinya tak jauh jauh dari memanjat pohon dan tembok.

Melihat Naufal sudah turun duluan, ia mengikuti jejak temannya tersebut. Naik ke bata di atas tanah, sedikit mengangkat salah satu kakinya, lalu turun. Sesimpel itu memang, mengingat tembok ini tidak terlalu tinggi.

"Ga ada motor, Naufal cantik," Naufal memukul lengan Radit pelan. "Gue cowo, anjir!" Radit hanya terkekeh. Lagi, dicubitnya pipi gembil milik temannya itu.

"Biasanya kalo bolos gini, gue bayar motor punya orang. Ayo ikutin gue!" Radit hanya bisa mengangguk. Ia mempersilakan Naufal berjalan memimpin perjalanan mereka.

Sampailah Radit dan Naufal di depan rumah bertembok hijau. Naufal mengetuk pintu rumah hijau tersebut sembari menunggu si pemilik rumah keluar. Tak lama, seseorang yang sepertinya pemilik rumah itu, tersenyum pada Naufal.

"Mau pinjem motor, Pal?" Naufal mengangguk malu malu. "Iya bang, jangan bilangin ke Bu guru yaa," orang yang didatangi mereka berdua hanya bisa tersenyum. "Bentar ya, abang ambili kunci motonya dulu," Naufal mengangguk, semakin melebarkan senyumannya.

Tak sampai satu menit, orang tadi memberikan kunci motornya pada Radit. "Uangnya nanti kalo udah Naufal balikin ya bang, motor abang," orang itu mengangguk mengiyakan. Kalaupun dicuri, juga tak masalah. Karena itu mustahil, haha.

"Pamit bang." Yang dipamiti mengangguk lagi. Setelahnya, ia pergi ke dalam rumahnya.

"Dit, lo yang nyetir ya, gue males," Radit masih tercengang melihat adegan percakapan di hadapannya tadi. Apa Naufal dan si Abang abang sebelumnya memang sudah akrab? Apalagi abang itu juga sudah tau tujuan Naufal kemari.

"Yang tadi siapa namanya, Fal?"

"Rozi," Radit mengangguk. Ia kembali tersadar ketika lengannya ditepuk kuat oleh Naufal. "Ayo cepetan pergiiiii, nanti kalo satpam sekolah ngeliat kita gimana," Naufal menarik lengan kanan Radit. Mengajak temannya itu untuk pergi menuju samping rumah hijau ini. Di sana, terlihat motor matic yang akan mereka pakai.

"Mau kemana dulu nih,"

"Beli es krim."

Sunshine Becomes YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang