*Kesesokannya
Mengawali pagi dengan tekad untuk melupakan kejadian kemarin malam.
Aku bergegas mandi dan langsung mengenakan seragam hitam putih, Persiapan untuk hari pertama PKKMB yaitu kegiatan perkenalan kampus, saat dimana akan melibatkan kehadiran kakak tingkat yang akan membimbing kami, para mahasiswa baru.
Disisi lain dengan lembut, Bunda mengukir senyum di bibirnya saat ia menyambutku di pagi yang cerah. Ia dengan cermat meluruskan piring sarapan yang terhampar di atas meja. Goresan matahari pagi masuk melalui jendela, menambahkan kilau emas pada rambut hitamnya yang tergerai. Suasana hangat dan penuh kasih menyelimuti ruangan, seperti lembaran-lembaran awal dalam bab baru sebuah novel.
"Anak kesayangan, bunda udah rapi saja dihari pertama ke kampus. Makan dulu ya," ujarnya dengan penuh kelembutan (Tanpa sedikitpun menyinggung masalah kemarin) menunjuk ke arah hidangan yang menggoda di atas meja.
Dalam kehangatan keluargaku, harmoni menjadi benang yang mengikat hati-hati kami. Sungguh, aku merasa sungguh beruntung dan penuh rasa syukur akan keadaan ini. Setiap hariku diwarnai oleh sentuhan kebersamaan yang tak ternilai harganya.
Bunda, sosok yang begitu berarti bagiku, melambangkan cinta tak terbatas dalam setiap tatapannya. Ia tak hanya mengasuh, tetapi juga menyayangi dengan begitu tulus. Kelembutan yang melekat padanya memberi ruang bagiku untuk tumbuh dan berkembang, seperti bunga yang dirawat dengan penuh kelembutan.
Dan di sisi lain, ayahku. Sosok yang penuh pengertian, seolah-olah memiliki kebijaksanaan tak terbatas yang ia bagikan dengan penuh kelembutan.
Tak pernah sekalipun terdengar dentuman marah atau bentakan keras dari bibirnya. Ini adalah bagian dari sihirnya yang membuat setiap hari terasa penuh kedamaian.
Dalam keluargaku, seperti halaman-halaman awal dalam kisah yang begitu menarik, setiap individu membawa warna dan makna masing-masing.
Kebersamaan kami mengalir seperti alur cerita yang membentuk jalinan yang indah. Aku menyadari, dalam kebahagiaan ini, terhampar juga tanggung jawab untuk menjaga dan merawat, sebagaimana sebuah buku yang harus dijaga agar setiap lembarannya tetap utuh dan berarti.
Saat itu, ketegangan mencari kaos kaki yang seharusnya sudah ada di situ seolah-olah menjadi metafora dari perjalanan hidup kami.
Setiap pencarian, setiap tantangan kecil, adalah bagian dari alur cerita yang kami jalani bersama. Aku tahu bahwa tidak hanya dalam kebahagiaan, tetapi juga dalam momen-momen sepele seperti ini, tanggung jawab terhadap hubungan kami juga bersemi.
Tapi, seperti biasanya, tak ada yang luput dari perhatian Bunda. Ia melihat kebingunganku, dan dengan lembut ia mendekatiku. Cahaya pagi menerangi wajahnya, menambah kehangatan suasana.
"Cari apa, Cha?" tanya Bunda, suaranya lembut seperti embusan angin pagi yang menenangkan. Ia berbicara dengan nada yang membuatku merasa dengannya ada kelembutan yang begitu dalam, seperti pelukan hangat dari selembar selimut di pagi yang dingin.
"Kaos kaki acha dimana, Bun?" Ucapku
"Di atas meja," ucap Bunda seraya menunjuk. Secepat kilat aku menoleh ke arah meja dan benar saja, kaos kaki yang kemarin kususun sudah berada di sana. Dengan senyuman kecil, aku menggelengkan kepala.
"Kamu ini memang sering lupa, yaa Acha." Gumamku pada diri sendiri.
Suara pelan itu terlempar ke udara pagi, seakan menjadi refleksi dari momen-momen di mana kecerobohanku hadir dengan begitu natural. Hal itu seolah menjadi serpihan dalam kisah kehidupanku yang penuh warna.
Senyum Ayah memancar, tak luput dari tatapanku. Dalam kilau matanya, terdapat bauran kehangatan dan kebijaksanaan yang selalu menginspirasi.
Sejenak, aku terhanyut dalam kebersamaan keluarga yang menyelimuti kami, seakan waktu berhenti untuk merasakan momen yang mendalam ini.
"Sayangnya Ayah mau berangkat ke kampus ya? Mau bareng Ayah gak?" Ayah berkata dengan semangat penuh di balik kata-katanya
Aku memandang Ayah dengan penuh cinta, merasa begitu beruntung memiliki keluarga yang penuh kasih.
"Nggak, yah," ujarku sambil tersenyum. "Acha pakai sepeda saja."
Wajah Ayah sedikit mengernyit, meragukan pilihan transportasiku.
"Yakin kamu?" tanyanya lagi dengan cemas.
"Iya, Yah," ucapku mantap.
"Yaudahlah, sarapan dulu, baru berangkat," kata bunda sambil tersenyum lembut.
*Suasana di ruang makan penuh dengan kebahagiaan dan kehangatan, memberikan ketenangan dalam hatiku menjelang awal hari yang baru.
Setelah selesai makan, Ayah pun Bersiap dan segera berangkat,
"Bunda, Ayah ke kantor dulu, ya. Ayah ke kantor dulu Cha, belajarlah yang rajin," ucapnya sambil mencium keningku dan pipi bunda.
Setelah itu, aku pun pamit untuk berangkat menggunakan sepeda.
Dengan langkah perlahan, aku memulai perjalanan mengayuh sepedaku, menikmati setiap hembusan angin yang menyapa wajahku. Kampus berada cukup dekat dari tempat tinggalku, membuat perjalanan ini tak pernah terasa melelahkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/349766456-288-k978148.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rentang Ragu dalam Relasi
Romance"Rentang Ragu dalam Relasi" mengisahkan tentang ikatan kuat persahabatan antara Acha dan Arya, dua sahabat sejak kecil yang melewati beragam cobaan bersama. Ketika rahasia dan perasaan tersembunyi mulai timbul, hubungan mereka diuji oleh perbedaan p...