Bagian 7

8 1 0
                                    

Namun, tak lama berselang sejak aku memulai perjalanan, takdir mempertemukanku dengan Arya. 

Di tengah perjalanan, sebuah mobil yang mewah dan begitu elegan memasuki pandangan mataku. Rupanya, mobil itu bukan sekadar alat transportasi biasa, melainkan sebuah karya seni yang menghiasi jalanan. Dan di dalamnya, duduk santai seorang Arya, wajahnya memancarkan kepercayaan diri seolah-olah dunia ini berada dalam genggamannya.

Kehadiran Arya dan mobil nya yang begitu mencolok seolah memberikan nuansa lain pada hari biasa sebelumnya. Suasana sekitar menjadi lebih hidup, seolah-olah detik-detik kehidupan kita saling berpapasan dalam pertemuan tak terduga di jalan ini.

Dalam hatiku, terlintas pemikiran, "Kebiasaan pamer terus, padahal kampusnya dekat bahkan bisa jalan kaki juga. Kemarin saja kita jalan kaki."

Arya tiba-tiba mengerem mobil mewahnya tepat di depanku, dan senyuman lebarnya terpancar di wajahnya yang tampan.

"Acha!" panggilnya sambil melambaikan tangan.

"Kamu naik sepeda? Aku tadi menunggumu, tahu! Tapi ibumu bilang kamu sudah pergi duluan."

Tanpa berpikir panjang Arya pun bilang;

"Ya sudahlah, tinggalkan saja sepedamu di sini. Nanti aku perintahkan supirku untuk mengantarnya ke rumahmu,"

 ucapnya dengan sikap yang begitu santai, seolah-olah semua ini hanyalah hal yang biasa terjadi.

Aku tersenyum lempang dan menggelengkan kepala.

"Nggak mau, Arya. Aku mau nya naik sepeda saja. Aku kan lagi marah sama kamu." dengan nada sedikit kesal.

Tanpa menunggu jawaban Arya, aku melanjutkan perjalanan menuju kampus. Arya mengikutiku dari belakang dengan mobilnya yang mewah.

Akhirnya, kami tiba di kampus dengan selamat dan memarkirkan kendaraan kami masing-masing. 

Seperti biasa, Arya selalu menjadi pusat perhatian karena ketampanannya dan kekayaannya. Meskipun aku mengenalnya sejak kecil, tetap saja rasa canggung dan risih terkadang masih ada dalam hatiku.

Namun, pagi ini sensasinya yang menyegarkan, saat di mana fokusku tertuju pada rangkaian kerumitan dan aktivitas di kampus yang baru.

Tak berapa lama setelah itu, dalam usaha yang agak tergesa-gesa, tak terduga aku bertabrakan dengan seseorang. Langkahnya ditahan beberapa lembar kertas yang tercecer di lantai akibat benturan kami.

"Aduh, maaf banget..." suaraku terputus ketika berusaha membantu merapikan lembaran kertas yang terjatuh.

Dan saat tengah sibuk merapikan kertas yang berserakan, pandanganku mendadak tertuju pada wajah pria yang tangannya tidak sengaja kusentuh.

*Ternyata dia adalah

Rentang Ragu dalam RelasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang