Bagian 16

2 0 0
                                    

Sesampainya di kamar Arya, aku menaruhnya dengan lembut di tempat tidur. Wajahnya memancarkan kelemahan, suhu tubuhnya naik, dan bibirnya merah membara. Aku mencari kain basah dan mengompres dahinya dengan lembut, mencoba meredakan panas yang melanda. Tanganku menyentuh dahi Arya, dan aku merasa begitu khawatir akan kondisinya.

Setelah beberapa saat, aku merasakan tangan Arya memegang tanganku lembut. "Cha, jangan pergi," bisiknya dengan suara serak, walaupun dalam keadaan setengah sadar. Tangannya memegang erat tanganku seakan tak ingin kehilangan pegangan.

Hatiku terpukul melihat kondisinya yang rapuh, namun aku tidak tega meninggalkannya. Segera, aku mengambil teleponku dan menelepon bunda untuk menjelaskan situasi yang terjadi. Aku merasakan kehangatan dukungan dari suara bunda, dan ia memberiku izin untuk tinggal di rumah Arya.

Terdengar suara Arya merengek dalam tidurnya, "Cha, jangan pergi." Aku tersenyum, meskipun dalam keadaan tidur ia masih merasa perlu untuk menjaga keberadaanku di sisinya. Aku menjawab lembut, "Aku di sini, Arya. Jangan khawatir."

Sejenak, aku duduk di atas kasur dengan posisi bersandar di tembok, masih memegang tangan Arya yang lemah. Pandanganku terfokus pada wajahnya yang tenang dalam tidur, merenung tentang semua yang telah terjadi dalam beberapa jam terakhir. Aku merasa bahwa perasaanku terhadap Arya semakin kompleks, bukan hanya sebagai sahabat, tetapi juga sebagai seseorang yang kuharapkan tetap ada dalam hidupku. Namun, saat ini, yang terpenting adalah mendukung dan menjaga Arya dalam situasinya yang rapuh.


Sinar pagi yang lembut menyelinap masuk ke dalam kamar, menerangi suasana yang tenang. Aku tertidur pulas di sisi tempat tidur Arya, tidak menyadari bahwa matahari telah terbit dan pagi telah tiba.

Arya membuka matanya perlahan, memandang wajahku yang masih dalam tidur. Ekspresinya penuh dengan campuran perasaan, dari kekhawatiran hingga rasa syukur bahwa aku masih ada di sisinya. Dia mengamati setiap detail wajahku, seolah ingin mengingat dan mengabadikan momen ini dalam ingatannya.

Tak lama kemudian, dengan perlahan-lahan aku mulai terbangun dari tidurku. Aku merasakan pandangan matanya yang menatapku, dan ketika mata kami bertemu, tersirat banyak perasaan yang sulit diungkapkan dalam kata-kata. Arya tersenyum lembut, memberikan sedikit kelegaan di tengah situasi yang rumit ini.

"Acha," bisiknya dengan suara lembut, membuatku semakin sadar akan keberadaannya di sisiku. Aku juga tersenyum padanya, mencoba memberikan dukungan melalui tatapan dan senyuman kami.

Kami berdua tetap terdiam sejenak, merasakan kehangatan pagi yang mengisi kamar. Perasaan kami yang rumit dan terkadang sulit dimengerti masih mengambang di antara kita, tetapi saat ini, saat ini yang paling penting adalah bahwa kami ada di sini satu sama lain, saling mendukung dalam momen-momen sulit.

Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, karena dalam pandangan kami, banyak cerita, perasaan, dan harapan yang tersemat. Kami membiarkan waktunya berlalu dengan sendirinya, menikmati kedekatan ini tanpa batasan kata-kata.

"Arya, kamu udah bangun?" kataku dengan lembut sambil mengusap dahinya dengan lembut. "Gimana perasaanmu, udah baikan? Baik-baik saja?" Tangan kami bersentuhan dengan lembut, mengirimkan rasa dukungan dan kepedulian.

Arya yang sedikit terbangun tersenyum kecil, mengangguk perlahan. "Aku udah baikan, Cha. Makasih ya." Suara lemahnya mencerminkan rasa syukur dan penghargaannya terhadap kehadiranku di sampingnya. Meskipun perasaannya masih dalam keadaan campur aduk, aku merasa lega bahwa dia sudah mulai pulih dari keadaan yang sulit semalam.

Kamiduduk berdampingan di atas kasur, merasakan kebersamaan tanpa harus banyakberbicara. Tidak ada kata-kata yang bisa sepenuhnya menggambarkan perasaan diantara kami, tapi dalam keheningan ini, kami merasakan kehangatan dan dukunganyang kami berikan satu sama lain.

Rentang Ragu dalam RelasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang