Bagian 8

8 1 0
                                    

*Ternyata dia adalah kak Arkhan.

"Ehh, kakak, maafkan Acha ya," ujarku sambil sedikit tergopoh-gopoh, menyatukan kertas-kertas yang berantakan. Lalu aku menyodorkan kertas-kertas tersebut kepadanya dengan canggung.

Kak Arkhan hanya tersenyum tipis, dan sambil mengambil kertas dari tanganku, dia berkata dengan nada ringan,

"Tidak apa-apa, hati-hati." Senyumnya yang tulus membuat hatiku berdesir.

Aku melanjutkan langkahku dengan cepat, tak ingin terlalu terlambat untuk menghadiri pertemuan di aula.

Namun, tak lupa aku mendengar suara teriakan kak Arkhan yang berbisik, "Selamat datang di kampus ini." Dengan senyum samar, aku melambaikan tanganku sebagai tanda terima kasih, lalu melanjutkan langkah menuju aula.

Tiba di dalam aula, suasana semakin hidup dengan kerumunan mahasiswa yang berbincang-bincang dan menata tempat duduk mereka. Aku mencari tempat yang nyaman dan akhirnya memilih barisan paling belakang. Dari kejauhan mata dan pikiranmu kembali tertuju pada kak Arkhan yang tampak begitu asyik berbincang dengan beberapa teman panitia lainnya di panggung.

Pertemuan ini ternyata adalah pengenalan mahasiswa baru, dan kak Arkhan memegang peran penting dalam penyelenggaraannya. Ketika acara dimulai, ia naik ke panggung dan memulai sambutannya bersama satu temannya yang lain. Mataku tak lepas dari kekarismanya saat berbicara dengan penuh percaya diri. Aku tidak bisa menahan senyum dan bangga melihatnya dari jarak jauh.

Acara berlanjut dengan berbagai presentasi dan informasi tentang kampus. Aku mencoba fokus pada isi presentasi, tapi pikiranku terus melayang pada kak Arkhan dan rasa kagumku padanya. Namun, Arya yang duduk di sampingku dengan cepat mengalihkan perhatianku.

"Acha, serius deh, kamu suka banget sama kak Arkhan ya?" tanya Arya dengan senyum nakal.

Wajahku langsung memerah, tapi Aku mencoba untuk tidak menunjukkan keterlaluan. "Eh, gaklah, cuma terkesan aja sih," jawabku sambil coba-coba tersenyum cuek.

"Acha, jangan coba-coba bohong sama sahabat sendiri. Matamu tadi kayak terpaku terus waktu dia bicara di panggung," goda Arya sambil tertawa.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil mencoba untuk tidak memperlihatkan ekspresi yang terlalu jelas. Kami berdua tertawa dan melanjutkan mendengarkan presentasi dengan lebih serius.

Namun, di sisi lain ruangan, mata Syifa terlihat mengarah ke arah kami yang sedang asyik ngobrol dan tertawa. Aku tidak tahu persis apa yang ada di dalam pikirannya, tetapi aku memilih untuk merespon dengan sikap cuek dan segera kembali fokus ke depan.

Waktu terus berjalan, hingga akhirnya tiba saat istirahat. Arya mengajakku pergi ke kantin, dan kami berdua duduk di salah satu sudut yang tenang. Di sana, Arya mulai menjelaskan situasi yang sebenarnya terjadi kemarin, yang membuatnya begitu marah padaku.

Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami perspektifnya. Wajah Arya terlihat serius, dan aku bisa merasakan bahwa ada rasa penyesalan yang tulus dalam kata-katanya. 

Sedikit demi sedikit, aku mulai memahami bahwa terkadang masalah yang terlihat sepele dari satu sudut pandang, bisa memiliki dampak besar di sisi lain. Itu membuatku merenung tentang kompleksitas hubungan dan interaksi di antara kami.

Rentang Ragu dalam RelasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang