Bab 16 : Pulang

3.8K 485 41
                                    

Mengingatkan, 'Raja' adalah panggilan yang bapak Tomat kasih ke Hali dan gimana Hali manggil dirinya sendiri pas kecil yagesya, penjelasan ini udah aing kasi di cerita selingan bab 9 di buku sebelah.

Enjoy~

ATLAS

Di sebuah ruangan berlantai tatami, Halilintar duduk bersimpuh menghadap foto kedua orangtuanya. Manik merahnya terlihat kosong, sangat sunyi, hanya ada suara jam yang berdetak dengan suara riak air kolam yang berasal dari kolam ikan di halaman samping ruangan itu. Pantulan sinar membentuk indah di ruang dimana Halilintar berdiam diri.

"Ah sial... Rasanya gue kayak orang gila ngomong sama foto kek gini." Halilintar tertawa getir.

"Masbod lah, kalo gak kek gini bisa gila beneran gue." Tambahnya lagi.

Halilintar menutup matanya dan menarik nafas dengan dalam, seolah membayangkan kedua orangtuanya berada tepat di depannya.

"Yah, Bun. Raja sebenernya capek banget sama keluarga nya Bunda. Raja pengen banget mutusin hubungan, Raja tuh diam selama ini karena Raja gak mau punya hubungan lagi sama mereka, tapi kenapa mereka tuh seakan-akan gak mau biarin Raja sama yang lainnya hidup tenang gitu aja?"

"Bahkan sampai bawa-bawa nama almarhumah Bunda, kayak otaknya dimana sih? Terus juga, Yah. Masak si Wendy bajingan itu nyuruh adik Raja mati sih? Udah ayah jaga, ayah lindungi, seenak jidat dia nyuruh Nana mati aja, Raja kesel banget. Punya otak tapi gak dipake buat mikir."

Halilintar emosi banget sekarang, saking emosinya dia ingin nangis. Tapi kata ayahnya, sebagai anak sulung, sebagai anak laki-laki, Halilintar harus kuat.

"Ayah, Raja hampir gagal, Raja ngingkarin janji yang Raja buat sama Indra. Karena kelalaian Raja, adik Raja nyaris bunuh diri karena depresi yang gak Raja sadari. Kayaknya Wendy bener, Raja sampah banget."

"Raja juga... Hampir nyerah, tiga tahun yang lalu Raja hampir nyerah sama hidup, tapi gak jadi. Karena setiap Raja mau nyerah, wajah adik-adik Raja selalu muncul seolah-olah ngehalangin Raja buat pergi."

Halilintar menunduk, membiarkan surainya jatuh menutupi sebagian wajahnya, tangannya yang masih kotor karena bekas darah ia angkat untuk menutupi area matanya, Halilintar menggigit bibirnya kuat.

"Ayah, Bunda.. Raja harus apa? Raja takut. Ketika Nana bercerita bahwa nyawanya terancam, itu membuat ketakutan Raja semakin besar, Raja gak mau kehilangan lagi seperti Raja kehilangan Bunda. Rasanya sakit, bahkan ketika Anya nyaris pergi, hati Raja sakit banget. Kehilangan itu sakit banget, Ayah, Bunda..."

Suara tarikan napas terdengar. Dada Halilintar terasa sesak, ia ingin sekali berteriak, tapi berteriak bukanlah cara Halilintar melepaskan bebannya. Pemuda itu pun merebahkan dirinya di lantai tatami dan menatap langit-langit ruangan itu dengan mata merahnya yang sedikit berkaca-kaca.

Tangannya terulur ke atas seolah berusaha menggapai sesuatu, "Raja tahu Qada dan Qadar nya Allah tuh udah ditetapkan bahkan sebelum bumi diciptakan, takdir setiap umat-Nya telah Ia tetapkan dalam lauhul mahfudz Nya, bahkan sebelum manusia itu sendiri ada. Termasuk takdir yang akan Raja jalanin."

"Raja... Gak tahu apakah Raja sanggup menjaga amanah dari Ayah dan Bunda..."

--------------

Siang berubah menjadi petang, sudah berjam-jam Halilintar habiskan di rumah lama keluarganya dengan sesi curhat pada sebuah foto yang terkadang ia lakukan jika Halilintar mulai hilang arah. Pemuda berusia 21 tahun itu bahkan tak sengaja ketiduran karena lelah. Bangun-bangun udah sore aja.

ATLAS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang