Bab Bonus : Taufan & Thorn

1.2K 213 67
                                    

Sudah dua hari Taufan mengurung dirinya di kamar miliknya dan Halilintar sejak kepergian si sulung ke New Jersey. Panggilan dengan nada khawatir dari sang ayah maupun sang paman ia abaikan, hanya si bungsu lah yang ia izinkan untuk mendekat dan berbicara dengannya.

Seperti saat ini, Thorn berusaha membujuknya untuk makan, karena sudah dua hari ini ia tak menyentuh makanan sama sekali.

"Kak, ayolah makan dulu, nanti kalo kak Je balik terus tau kak Sa gak makan, nanti aku yang diamuk...!" rengek si bungsu, ia terlihat seperti akan menangis seolah sedang membayangkan amukan seorang Halilintar.

Taufan lantas menggeleng, nafsu makannya benar-benar hilang dalam waktu dua hari tersebut. Taufan mendorong pelan sendok berisi nasi yang Thorn sodorkan tepat di depan mulutnya. Manik birunya menatap kosong pada si bungsu.

"Gue gak nafsu makan, Nya. Nanti gue muntah," ujarnya.

Ekspresi Thorn semakin menyedihkan, ia cemberut dan juga terlihat seperti ingin menangis. Melihat hal itu, Taufan pun menghela nafas dan lantas tersenyum paksa.

"Oke, baik. Gue bakal makan, tapi gue gak mau nasi."

Mendengar hal itu, ekspresi murung Thorn langsung tergantikan dengan senyum lega dan sedikit bersemangat. "Jajan?!" Pertanyaan yang antusias itupun Taufan jawab denhan anggukan yang menuai pekikan senang yang tertahan dari Thorn.

"Iya, jajan," ulang Taufan.

Thorn kembali bersorak. "Yes! Gapapa, setidaknya kak Sa ada makan!"

Taufan pun mendengus. "Gue ganti baju dulu, lo siap-siap sana," usirnya dengan halus.

Setelah percakapan singkat itu, Thorn pun langsung keluar dari kamar si sulung, meninggalkan Taufan kembali sendirian di kamarnya. Pemuda itu lantas bangkit berdiri, langkahnya pun membawanya kearah cermin, dan terpampang lah wujudnya yang tampak pucat dan kurus, hanya dalam waktu dua hari, Taufan sudah terlihat seperti mayat hidup.

Taufan memang tidak pernah bisa jauh dari Halilintar.

Si sulung pun menghela nafas, tak ada gunanya ia mengkhawatirkan Halilintar dengan menyiksa dirinya sendiri. Thorn benar, Halilintar akan marah jika mengetahui kondisinya sekarang. Ia menggelengkan kepalanya, menepis semua pikirannya tentang kemungkinan terburuk yang mungkin saja terjadi pada sang kembaran, dan mengalihkan fokusnya pada apa yang akan terjadi sekarang.

Makanan.

Setelah dipikirkan, Taufan sangat lapar, benar-benar lapar.

Memikirkan lezatnya cireng yang masih hangat, dan nikmatnya seporsi ketoprak langganannya, telah berhasil membuat perut Taufan bergemuruh meminta asupan karbohidrat, bahkan lidahnya mulai berair kala membayangkan sesendok es krim yang melumer di mulutnya.

Taufan terkekeh kecil, bodohnya dirinya.

Ketukan di pintu menyadarkan Taufan dari lamunannya, itu Thorn, sang adik rupanya sudah siap.

"Kak Sa! Udah siap belum?" Suara sang bungsu sedikit teredam dari balik pintu.

Ia pun menyahut. "Bentar! Lo panasin mobil dulu, boleh gak, dek?"

Pertanyaannya itu pun terjawab dengan seruan setuju dari Thorn dan langkah kaki yang perlahan menjauh dari kamarnya.

Baiklah, Taufan akan bangkit dari kesedihan, dan akan mulai mengisi perut yang keroncongan. Saatnya berburu makanan!

----------------

Ketika Taufan turun dari lantai atas, ia sudah dapat melihat siluet sang ayah yang duduk di kursi roda, tak jauh dari tangga, dengan sang paman yang senantiasa di sampingnya. Dan tentu saja, sosok Beliung yang masih memantau keadaan orang-orang yang jauh disana dengan laptopnya.

ATLAS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang