Level 1

3.2K 212 32
                                    

"What? Jadi kader Posyandu? Mama mabuk, ya?"

Rupanya teriakanku membuat Mama kesal sampai beliau menimpuk keras lenganku dengan buku yang tengah dibacanya, membuatku spontan mengaduh.

"Emang mbok-mu ini preman apa? Dikatain mabuk segala!"

"Dih," sahutku sewot sambil mengusap lengan. "Bukan kaya gitu maksudku, Ma. Tapi, seriously aku syok! Mama nyuruh aku jadi kader Posyandu? Hello? Aku, Ma?" Kemudian aku tertawa kencang, dengan nada setengah miris setengah kesal. "Kok iso lho?"

"Yo iso, lah!" Mama mendengkus kesal sambil memutar sendiri kedua roda kursi rodanya. "Masa anaknya Bu Wo enggak mau bantu ngurusi Posyandu? Gimana pandangan orang-orang nanti, Nad?"

Heleh, mulai. Benar-benar menyebalkan kalau Mama sudah mulai memikirkan bagaimana pandangan orang. Padahal waktu dulu masih menjadi single parent di masa aku kecil, Mama tipe manusia bodo amat dan hidup sesukanya.

Setelah menikah dengan Om Imam 5 tahun lalu dan menetap di desa kecil ini, Mama berubah drastis. Beliau seperti kehilangan jati diri dan hidup sebagai salah satu bagian dari spesies people pleasure.

Yah, mungkin memang karena tuntutan status juga. Om Imam yang memang sudah sejak bujang dulu menjadi salah satu Ketua Dusun di desa ini, menikahi Mama yang lebih tua 6 tahun darinya. Mungkin karena Mama awalnya merasa tak nyaman dengan pandangan orang-orang sini karena usia yang lebih tua dari Om Imam, maka beliau akhirnya berusaha menjalankan tugas sebagai Bu Wo (Kamituwo--Kepala Dusun) dengan se-perfect mungkin.

"Tapi lho aku baru semingguan di sini, Ma. Bukannya malah ntar bikin orang-orang ngerasa aneh? Anak bau kencur dan pendatang udah sok-sokan jadi kader Pos--"

"Justru ini kesempatan kamu biar bisa nunjukin diri ke mereka, Nad. Terutama sebagai anaknya Bu Wo. Selama ini mereka cuma ngira-ngira dari cerita Mama tentang gimana kamu sebenernya. Biar kamu juga cepet nyaman tinggal di sini kalau udah bisa ambil hati mereka."

Kukerucutkan bibir, lalu menyahut, "Padahal enggak perlu segitunya pengen ambil hati mereka kalau aku -nya aja kebanyakan di kamar--"

"Itu dia!" Lagi-lagi Mama menyela, kali ini dengan nada tinggi dan lebih kesal dari sebelumnya. Buku di pangkuannya sampai hampir jatuh ke lantai karena goncangan tubuh ibuku di atas kursi rodanya itu. "Mama enggak mau kamu hidup kaya di Malang. Ini desa, Nad. Beda! Di sini kamu harus srawung (kumpul) sama tetangga. Di sini kamu enggak boleh cuek, apalagi kamu anak pamong desa! Paham?"

Hadeh!

"Iya, iya. Aku pikir-pikir dulu, deh." Kukucek pelan kuping kanan sambil berbalik akan berjalan menuju kamar, tetapi Mama kembali bersuara, membuatku menghentikan langkah.

"Harus, Nad! Mama enggak mau denger omongan enggak enak dari sekitar dan pengen kamu ngerasa nyaman hidup di sini. Ngerti, to?"

"Iya, Mama, iya." Kuembuskan napas dengan cepat. "Aku pikir-pikir dulu." Kemudian, aku berjalan menuju kamar diiringi gerutuan kesal Mama padaku.

Setelah menutup pintu kamar, lekas kurebahkan diri di kasur dengan posisi telentang menatap langit-langit tanpa plafon di atas sana.

Mama bertemu dengan Om Imam sekitar 6 tahun lalu, saat ibuku itu menghadiri pernikahan anak pertama Tante Santi--teman Mama sejak SMA--di Sragen. Om Imam adalah saudara sepupu Tante Santi.

Dan yah, perkenalan tersebut menjadi gerbang pembuka rasa suka di antara mereka. Sampai akhirnya setahun kemudian, Om Imam yang adalah perjaka tua berusia 40 tahun mantap menikahi Mama, janda yang kala itu berusia 46 tahun.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang