Level 4

1.3K 192 40
                                    

"Enggak. Enggak usah. Ngapain kamu ribet-ribetin diri kerja di kantor desa. Kalau kaya gitu ntar malah enggak bisa bantu Mama." Mama menggeleng tegas sambil menatap tajam, setelah aku mengutarakan niat pada beliau dan Om Imam untuk ikut mendaftar seleksi karyawan desa.

"Jam kerja karyawan fleksibel, kan, Ma. Ya kaya Om Imam yang juga tetep ngantor tapi enggak lupa ngurus kerjaan lapangan. Lagian kantor desa deket juga, aku bawa motor Om Imam, kan mudah mau bolak-balik." Aku yang pada akhirnya menemukan ketertarikan pada posisi karyawan desa, berusaha meyakinkan Mama agar mau merestui niatku itu.

Lagi pula, kalau siang jam 10-an sampai selepas zuhur, Mama akan didatangi ibu-ibu yang hobi sekali mengajak ber-julid ria. Siapa lagi kalau bukan Bu Martono, Mbak Yani dan pengikut mereka. Mau diusir nanti malah dibilang kalau Bu Wo tidak srawung dan sombong, kalau dibiarin lama-lama kok ya mereka makin meracuni karakter Mama. Itulah kenapa aku malas kalau mereka pas main di rumah, obrolannya selalu membicarakan orang lain. Ya kalau isinya memuji, kebanyakan malah menjelek-jelekkan.

"Kalau pas jam istirahat ya aku pulang, Ma. Bukannya Mama juga enggak mau kalau aku di rumah terus?" Kutatap Mama dengan wajah penuh harap.

Sebenarnya aku tahu bahwa alasan Mama agak berat memberiku izin bekerja di kantor desa itu bukan karena masalah waktuku yang nanti bisa jadi akan berkurang untuk beliau. Hampir dua mingguan di sini, aku pelan-pelan tahu kalau ada sedikit gap antara para kader Posyandu dan beberapa pengurus PKK dengan perangkat desa.

Entahlah bagaimana detailnya, aku juga belum terlalu memahami, sekadar tahu saja. Sebab, Mbak Yani yang juga adalah Bendahara PKK sering membicarakan para perangkat desa yang begini atau begitu, terlebih kalau kaitannya dengan pencairan dana kegiatan PKK.

Meski penasaran ingin tahu lebih mendetail, tetapi rasa masa bodoh dalam diriku lebih besar. Lagian, untuk apa sih aku sibuk mengurusi hal yang tak penting dan tak berdampak apa pun terhadap kesehatan jasmani dan rohaniku tersebut? Kan lebih baik fokus dengan masalah dan masa depanku sendiri. Iya, kan?

"Tapi, kalau aku mikirnya sih oke aja, Ma." Suara Om Imam membuatku lekas mengalihkan tatapan mata dari Mama kepada beliau. "Setelah lulus kan Nadia belum sempat kerja. Ngelesin privat aja, itu juga waktu masih kuliah dulu, to?" lanjut Om Imam.

"Mana lulus kuliahnya telat sampai 1,5 tahun pula," imbuhku dengan nada miris.

Mama mengerucutkan bibir saat menatapku dan Om Imam bergantian. "Pasti bujukan e Mbak Wuri, to?" tanya Mama dengan nada menyelidik.

Om Imam terkekeh-kekeh. "Seenggaknya Mbak Wuri pasti bisa bikin nyaman Nadia kalau nanti jadi kerja di kantor desa daripada kumpul sama kader-kader Posyandu."

"Mas Imam kok ngomong e gitu, to? Kamu kan kamituwo, malah njelekin kader e sendiri." Mama menyahut sewot, sementara aku sendiri sudah tersenyum geli melihat interaksi mereka berdua.

"Enggak njelekin, Ma. Tapi, yo tau kan gimana mereka kalau udah ngumpul--"

"Ah, mbuh wis. Mboyak (masa bodoh), lah! Aku mau istirahat." Mama memutar kursi rodanya, tetapi sebelum menuju kamar, beliau menatapku sambil mendengkus. Kemudian, Mama berkata, "Yawis kalau mau daftar, sesukamu aja. Yang penting kamu seneng dan enggak lupa ikut bantu Mama di Posyandu."

"Siap, Ma!" Aku berdiri sambil membuat gerakan hormat pada Mama, disusul dengan tawa geli Om Imam yang membuat Mama melempar tatapan kesal pada beliau.

***

Setelah mengumpulkan berkas pendaftaran 5 hari lalu, tepatnya hari ini, Kamis, aku datang ke kantor desa untuk mengikuti tes tulis dan komputer calon karyawan desa. Saat tandatangan di meja presensi, aku melihat ada 8 nama terpampang di daftar hadir. Namaku berada di urutan ke-7. Berarti ada 8 orang yang mendaftar.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang