Level 19

983 149 37
                                    

"Ya Allah, mumet e!" Mas Haikal menggerutu sambil duduk di atas kursi dengan kasar. Setelah menghela napas panjang, dia lalu memijat pelipis sambil memejamkan mata.

Kualihkan pandangan dari Mas Haikal kepada Mas Gege yang ternyata sudah menatap ke arahku. Dengan lirih aku bertanya, "Masalah tanah milik almarhum Mbah Sarno itu yo, Mas?"

Mas Gege mengangguk. "Iya, Mbak. Karena Mbah Sarno kan enggak punya anak, jadi sanak saudaranya yang masih ada hak tanah itu minta dibantu desa buat diproses warisnya. Tapi, yo gitu. Agak mbulet karena masing-masing ngotot pengen bagian yang banyak," jawab Mas Gege pelan.

Kulirik Mas Haikal yang sekarang sudah menyandarkan kepala ke dinding yang ada di samping kursi tempatnya duduk sambil memijat daerah kedua mata.

"Jadi Carik ternyata enggak enak, ya, Mas? Meski bayaran lebih besar dari perangkat desa lain, tapi kerjaannya banyak," gumamku sambil kembali menatap Mas Gege.

Mas Gege tersenyum sambil mengangguk. "Namanya juga orang nomor 2 di desa, posisinya setelah Kades. Ya wajar. Ibaratnya kalau Kades lebih banyak mengurusi masalah eksternal, nah urusan internal desa termasuk segala administrasi itu di-handle sama Sekdes."

Mas Gege lalu mengecek ponselnya yang tadi sempat diletakkan di atas meja dan tiba-tiba bergetar, sepertinya ada pesan WA masuk.

"Eh, Mbak," panggil Mas Gege setelah mengecek ponsel, membuatku kembali menatapnya. Mas Gege sendiri terlihat agak ragu, sambil menggaruk pipi dia bertanya dengan nada lirih, "Malam Sabtu nanti ada acara enggak?"

Aku mengerjap. Sebentar, kenapa dia bertanya seperti itu?

"Anu ...." Dan yang menyebalkan, kenapa aku jadi malah kikuk begini? Jantungku pun berdegup kencang.

"Eh, ada acara, ya?" Mas Gege kembali bertanya. Saat aku menatapnya, bisa terlihat ekspresi agak kecewa di wajahnya itu.

"Enggak. Bukan gitu, Mas. Saya ... itu, cuma bingung aja." Gantian aku yang menggaruk pipi. "Kok mendadak Mas Gege tanya apa malam Sabtu saya ada acara gitu, lho." Apa jangan-jangan dia mau mengajakku kencan? Eh, tetapi tak mungkin kan? Berduaan pun hanya kami lakukan saat urusan kerja, masa iya Mas Gege bakal mengajakku pergi kencan sebelum kami menjalin hubungan yang halal?

"Oh, itu." Mas Gege tersenyum kikuk. "Mbak Linda, mbak saya. Katanya mau main ke sini. Ya gitu, katanya pengen kenalan sama Mbak Nadia."

Mulutku terbuka, tetapi tak ada suara yang bisa kukeluarkan. Selama beberapa saat, hening melingkupi kami berdua. Mas Gege mengalihkan tatapan mata dariku, sementara aku sendiri masih menatapnya dengan perasaan campur aduk. Ya bingung, kaget ... begitulah!

"Eh, kalian berdua mau ada acara ke Ngawi lagi enggak?"

Keheningan antara aku dan Mas Gege buyar karena pertanyaan Mas Haikal. Spontan kami berdua menatap Mas Haikal yang anehnya sudah tersenyum penuh arti kepada kami.

"Kalau iya, mau nitip kalau ke DPMD tolong tanyain terkait masalah realisasi Dana Desa punyanya Randukerto itu udah beres atau belum. Emang kayanya butuh konsultasi juga sama pihak DPMD. Nah, masalahnya aku belum ada waktu buat ke Ngawi, lagi repot juga soalnya persiapan acara nikahannya Wendy."

"Kok 'kalian', Mas? Kan yang biasa ke Ngawi cuma Mas Gege," protesku sambil mengerutkan kening.

Eh, Mas Haikal malah tertawa. Dia lalu membenarkan posisi duduk dan menjawab, "Ya kali aja, Nad. Siapa tau kamu juga ikut ke Ngawi sama Gege. Kan kalian udah itu tuh. Iya, to?"

Mendadak wajahku memanas. Segera kulayangkan protes kepada Mas Haikal dengan nada agak tinggi. "Dih, sotoy deh! Emang apaan itu tuh?"

Mas Haikal tertawa makin kencang, sementara Mas Gege hanya tersenyum malu-malu sambil memainkan ponselnya di atas meja.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang