Level 7

1.2K 158 32
                                    

Tak terasa sudah 9 hari aku bekerja di kantor desa. Dari awalnya hanya memasukkan data-data Perangkat Desa dan BPD, sekarang aku sudah mulai terbiasa membantu Bu Wuri membuat surat keluar dan Pak Danang dalam mengarsipkan surat-surat masuk.

Kemarin Mas Haikal memintaku bersiap karena sebentar lagi akan mulai membuat LPJ Dana Desa tahap 2 dan penyusunan RKPDes (Rencana Kerja Pemerintah Desa) tahun 2024. Mas Haikal memintaku membantu beliau, Mas Gege dan Mas Wahyu yang bertugas di dalam tim penyusun RKPDes.

Tentu Mas Haikal tak akan langsung menerjunkanku tanpa arahan terlebih dahulu. Maka, sebagai awalan dan pemanasan, Mas Haikal memintaku membantu beberapa pekerjaan Mas Gege, seperti menyusun LPJ BK Sarpras yang proyeknya baru selesai 5 hari lalu. Tepatnya proyek talud di sawah dekat warung Mbah Sri, di mana Om Imam adalah ketua TPK-nya.

Hari ini aku mulai membantu Mas Gege. Sementara lelaki itu sibuk membuat dokumen pengantar dan isi LPJ, aku ditugasi menempel nota-nota belanja dan beberapa faktur pengiriman material proyek. Cukup banyak, tidak, ternyata sangat banyak!

"Biasanya kalau LPJ gini Mas Gege nempelin sendiri?" tanyaku iseng, sambil melihat ke arah kiri, di mana Mas Gege duduk tepat di sampingku.

Mas Gege menatapku sekilas, lalu kembali ke laptopnya sambil menjawab, "Kemarin-kemarin waktu ngurus LPJ Dana Desa tahap 1 dan BK RTLH (Rumah Tidak Layak Huni), saya kerjain sendiri sambil dibantu sama Mas Haikal. Kalau urusan LPJ Alokasi Dana Desa di-handle sama Mas Wahyu dan Mas Haikal."

"Jadi Kaur Perencanaan rempong juga ya, Mas?" tanyaku asal, tanpa menatap Mas Gege.

Aku terkejut saat mendengar tawa Mas Gege. Membuatku mendongak ke arahnya dan tatapan kami bertemu. Aku mengerutkan kening, hendak bertanya kenapa Mas Gege justru malah tertawa, tetapi lelaki itu mendahului bersuara.

"Rempong enggaknya itu tergantung persepsi sih, Mbak. Kerjaan apa pun pasti ada sisi enak dan enggaknya. Jujur, jadi perangkat desa jauh lebih longgar waktu kerja dan juga enggak perlu sampai lembur-lembur dibanding waktu di kantor dinas dulu. Meski emang ada sisi enggak enaknya juga, yaitu salah satunya kudu aktif tampil di tengah masyarakat."

Kulirik Mas Gege yang kembali fokus ke laptopnya. Apa lelaki itu juga merasa tak nyaman dengan kehidupan desa yang jauh berbeda dengan di kota? Katanya kan dia lahir dan besar di Yogyakarta, anak orang kaya, lulusan kampus negeri yang elite pula. Pasti hidup di desa yang serba terbatas masalah sarana prasarana, belum lagi kultur di masyarakat yang jauh beda dari kota, membuatnya merasa tak nyaman, kan?

"Apa karena ngerasa capek dengan tuntutan di masyarakat itu yang bikin Mas Gege enggak terlalu betah di rumah dan sering pulang ke Ngawi?"

Nad, Nad. Harusnya kamu tahan saja pertanyaan konyol dan tak sopan itu! Sepenasaran apa pun kamu dengan alasan kenapa Mas Gege jarang ada di rumah padahal dia adalah perangkat desa--yang oleh masyarakat sini diharapkan selalu standby berada di desa--bukankah tidak etis kalau kamu tanyakan secara blak-blakan seperti itu?

Memang oon kamu, Donat! Kenapa mulutmu jadi tertular virus 'asal bicara tanpa berpikir dulu' dari Mbak Yani, dkk?

"Oh, maaf, Mas. Maksud saya nanya gituan karena murni penasaran. Saya enggak maksud buat jatuhin Mas Gege atau gimana--"

"Mbak, Mbak. Santai aja kali," sela Mas Gege sambil tertawa. Dia menatapku setelah mengalihkan fokus dari laptopnya.

Justru ekspresi wajahnya yang tetap biasa saja tanpa ada rasa kesal atau kecewa itulah yang makin membuatku merasa tak enak hati dan bersalah. Ya Allah, kenapa sih mulutku jadi latah begini? Apa hidup di desa hampir sebulanan sudah membentukku menjadi manusia julid? Meski memang niatku bertanya demikian murni penasaran, tetapi rasanya tetap tidak etis, kan? Apalagi masalah tentang Mas Gege yang jarang ada di rumah padahal dia perangkat desa itu sensitif dan sering jadi bahan pembicaraan masyarakat sini.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang