Level 5

1.2K 172 35
                                    

Setelah membuka mata, aku tak langsung duduk. Mengerjap dulu dan diam beberapa saat sambil masih berbaring. Kemudian, setelah merasa agak ringan, aku duduk perlahan. Kusapukan pandang ke seluruh isi kamar. Sepi.

Rasanya semua berlalu sangat cepat. Aku mengikuti tes seleksi karyawan desa, sakit perut parah, lalu dibawa pulang ke rumah oleh Taufik dan Bu Wuri.

Mama sangat panik. Beliau berteriak sambil menangis. Bu Wuri berusaha menenangkan Mama, setelah membantuku berbaring di kasur dalam kamar. Kemudian, beberapa menit kemudian Om Imam datang. Setelah itu aku tertidur sangat lelap.

Rasanya sudah jauh lebih ringan. Aku tak lagi merasakan nyeri di perut, meski masih merasa agak mual dan pahit di mulut. Saat tatapan mataku tertuju pada segelas teh di atas meja dekat kasur, segera kuraih benda itu dan meneguk isinya sampai habis.

Kuhela napas panjang sampai beberapa kali untuk menyamankan diri. Kemudian, kuraih ponsel di samping bantal dan memetiksa isinya.

Ada WA dari Om Imam. Dikirim beberapa jam lalu, kemungkinan sih waktu aku masih di balai desa. Beliau menanyakan tentang bagaimana keadaanku. Jelas terlihat bahwa Om Imam juga pasti sama paniknya dengan Mama.

Aku tersenyum tipis. Meski statusnya ayah tiri, Om Imam menyayangiku dengan tulus. Aku bisa merasakannya tanpa perlu mendapatkan penjelasan tentang hal itu dari beliau.

"Eh?"

Keningku mengerut saat menemukan sebuah pesan baru. Dikirim sekitar 15 menit lalu. Jantungku mendadak berdisko ria, antara merasa bingung tetapi juga antusias saat membuka pesan tersebut.

Mas Gege Kaur
Assalamualaikum. Mbak, gimana kondisinya? Udah agak mendingan?

Ah, iya. Bukankah tadi saat aku sakit dia terlihat panik juga? Iya memang yang lain juga panik. Namun, rasanya agak bagaimana begitu saat mengingat Mas Gege sampai menggenggam erat tanganku di saat nyeri hebat melanda tadi.

Hm, tidak ... tidak. Bisa jadi dia memang tipe yang seperti itu, memberikan kenyamanan pada orang yang tengah merasa sakit atau kesulitan. Tentu tak menutup kemungkinan bahwa bukan hanya aku saja kan yang diperlakukannya demikian? Apalagi aku hanya kenalan baru baginya.

Oh, iya! Gara-gara pikiranku melantur tak jelas, malah hampir lupa membalas pesan dari Mas Gege.

Anda
Waalaikumsalam. Alhamdulillah udah baikan, Mas. Masih di atas kasur. Baru bangun. Hehe

Lah, kok centang duanya cepat sekali berubah biru? Ternyata dia tengah online, ya?

Benar saja, beberapa detik kemudian balasan dari Mas Gege datang. Aku buru-buru membuka dan membacanya.

Mas Gege Kaur
Alhamdulillah kalau gitu, Mbak. Apa Mbah Wo di rumah? Kalau saya mampir sebentar, apa boleh? Sekalian mau minta ttd beliau utk daftar hadir pekerja proyek.

Kulirik bagian atas layar ponsel, ternyata sudah pukul 4.24 sore. Apa mungkin karena aku sedang sakit dan masih masa haid juga maka Mama sengaja tak membangunkanku dari sejak tidur siang tadi?

Uhm, apa kata Mas Gege barusan? Mau main ke sini?

Yah, meski tujuannya adalah Om Imam, tetap saja rasanya agak bagaimana begitu. Setelah tadi siang dia memperlakukanku seperti itu saat aku sakit, entah kenapa kok rasanya jadi canggung sendiri.

Anda
Keliatannya Bapak di rumah, Mas. Saya denger suaranya sih. Gapapa main aja kalau emang ada perlu sama Bapak.

Begitu balasku. Dan setelahnya aku hendak bangkit dari kasur, tetapi mengurungkan niat tersebut karena Mas Gege membalas--dengan kilat lagi--pesanku.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang