Level 3

1.3K 181 10
                                    

Aku menarik napas panjang, membuangnya perlahan. Tarik lagi, buang pelan-pelan. Begitu terus sampai rasa tak nyaman di dadaku berkurang. Kemudian, masih dalam keadaan duduk di atas motor bebek butut milik Om Imam ini, aku melihat ke kaca spion kanan dan membenarkan ujung bagian atas jilbab segiempat yang kugunakan.

Beres. Saatnya masuk ke kantor desa, tempat yang belum pernah kudatangi sama sekali sejak menginjakkan kaki ke Randukerto. Masa bodoh meski aku anak sambungnya Kasun. Kan memang sebelumnya aku tak punya alasan apa pun untuk pergi ke sini. Om Imam pun lebih sibuk dengan urusan di lapangan daripada di kantor.

"Eh, lho. Mbak Nadia, to?"

Spontan aku berbalik menatap ke asal suara, begitu turun dari motor. Oh, Bu Wuri. As usual, senyum beliau merekah. Memang orang ramah itu auranya beda.

"Nggih, Bu. Baru datang?" Duh, Nad. Pertanyaan apa itu? Retorik sekali. Jelas-jelas Bu Wuri baru turun dari motornya, mencangklong tas dan mau masuk ke kantor desa, eh malah ditanyain apa baru datang. Menyebalkan! Apa sekarang aku sudah kena virus 'basa-basi absurd'?

"Hehehe ...." Lebih menyebalkan lagi, Bu Wuri menjawabnya dengan tawa ala kadarnya.

Rasa canggung membuatku tak sadar menggaruk pipi yang tak gatal dengan tangan kanan, sementara tangan kiri memegang erat map titipan Mama.

"Lho, ayo! Kok diem, to? Bukannya mau masuk?" Bu Wuri menghentikan langkah dan menatapku sambil mengerutkan kening.

"Eh, iya." Buru-buru aku mengikuti Bu Wuri masuk ke dalam kantor desa sambil cengengesan sendiri.

Sesampainya di dalam, suasana lengang menyapa. Bu Wuri mempersilakanku duduk di kursi tamu depan mejanya, sementara beliau mulai menyalakan PC yang ada di hadapannya.

Aku melirik ke arah seorang lelaki muda yang tengah merapikan beberapa berkas di sudut ruangan sebelah barat. Mungkin usianya masih sekitar 19 atau 20 tahun.

Bau wangi pengharum ruangan bercampur dengan sabun pel lantai membuatku cukup merasa nyaman. Ada kipas angin besar di bagian atas dekat denganku, membuat udara menjadi sejuk. Hm, kantor desa ini tak buruk. Meski memang bangunannya tak terlalu besar, tetapi kebersihan dan kerapiannya sangat terjaga.

Kulirik lagi lelaki muda yang masih berkutat dengan berkas-berkas itu. Sepertinya dia semacam OB di sini dan salah satu faktor pendukung kerapian serta kebersihan kantor ini adalah dirinya.

"Jadi, Mbak Nadia mau buat surat apa?"

Pertanyaan Bu Wuri membuatku langsung mengalihkan tatapan mata dari lelaki muda yang kemungkinan OB kantor desa itu ke beliau. Bu Wuri sendiri menatapku dengan semringah. Entahlah, sejak pertama kali kami bertemu, Bu Wuri selalu berseri-seri saat menatapku. Sampai aku berpikir, apakah wajahku ini mirip seperti uang?

"Eh, anu," sahutku, "saya bukannya mau bikin surat, Bu Wuri. Ini disuruh Mama nyerahin laporan pertanggungjawaban bulanan untuk kegiatan Posyandu Dusun Randu 1. Sekaligus mau mencairkan dana PMT untuk bulan depan."

Bu Wuri menatapku sejenak, lalu menepuk tangannya sendiri. "Woalah. Mau ketemu Mas Gege, yo?" tanyanya dengan nada semangat.

Aku mengerutkan kening. "Kenapa Mas Gege, Bu?"

Giliran Bu Wuri mengerutkan kening setelah menghentikan tawa. Ekspresi wajahnya bingung. "Lha, katanya mau ngasihkan berkas Posyandu? Berarti yo ke Mas Gege, to?"

Aku mengerjap. Tunggu! Kenapa rasanya membingungkan begini? Mama tak bilang apa pun tentang memberikan berkas ini spesifik ke siapa. Hanya menyuruh mengantar ke kantor desa dan mengambil dana untuk PMT Posyandu bulan depan.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang