Level 24

991 132 48
                                    

Perjalanan dari makam Alya dan kedua orang tuanya ke makam Bu Indah membutuhkan waktu sekitar sejam, dengan diselingi macet di beberapa titik. Rasanya seperti sudah lama sekali tak merasakan hiruk-pikuk suasana kota besar begini, setelah setahunan keluar dari Malang dan menetap di Randukerto. Ngawi kota memang ramai, tetapi tidak ada drama macet seperti di Malang atau Yogyakarta. Apalagi ini weekend, wajar jika banyak yang melakukan perjalanan untuk liburan bersama keluarga atau sahabat.

Sesampainya di lokasi, Mas Gege meminta Taufik memarkir mobil agak ke sebelah barat. Area pemakamannya lebih sempit dan sepi dibandingkan tempat Alya dikebumikan.

"Jalan lurus depan, lalu belok ke gang sebelah kanan nomor dua dari barat itu dulu tempat tinggalku. Di sana aku tinggal sama Ibu, ngontrak mulai dari masih sama Ayah sampai Ibu jadi janda dan akhirnya nikah sama Bapak, lalu pindah ke rumah Ngawi," kata Mas Gege sambil menatap Taufik, lalu aku.

"Lho, Mas Gege dulu sama ibunya ngontrak? Kukira ada rumah sendiri." Taufik mengerutkan kening saat menanggapi cerita Mas Gege.

"Enggak. Kami enggak sekaya itu, Pik."

"Makanya aku kaget, Mas. Wong sekarang Mas Gege kaya gini." Taufik menggelengkan kepala, masih terlihat tak percaya. Sementara itu, Mas Gege menanggapinya dengan ekspresi geli.

"Roda kan berputar, Pik. Termasuk karena bantuan Bapak juga, aku dan Ibu bisa hidup nyaman setelah kesulitan yang pernah kami lalui di masa lalu. Bapak kan wis mapan kerjanya, sementara Ibu cuma pegawai kontrak, hidup kami cuma ngandelin sawah warisan ibu angkatnya Ibu, sebelum akhirnya dijual buat tambahan modal hidup sebelum kami berdua pindah Ngawi. Pajero ini dulu punyanya Bapak, begitu aku balik Ngawi, daripada enggak ada yang ngerawat ya disuruh bawa aku."

Mas Gege menatap bergantian aku dan Taufik. Hening agak lama melingkupi kami, sampai akhirnya Mas Gege bersuara lagi. "Pasti pada pengen tanya, to, tentang ibuku?" Dia lalu tertawa kecil. "Iya. Ibuku kayanya dibuang sama orang tuanya, deh. Enggak tau siapa orang tuanya, kata Ibu tiap beliau tanya ke para pengasuh, mereka enggak mau jawab. Ya udah, beranjak remaja sampai meninggal dunia, Ibu udah enggak mau tau lagi siapa kedua orang tuanya."

Aku menelan ludah, lalu saling lirik dengan Taufik. Iya, aku sudah mendengar cerita tentang Bu Indah dari Pak Hendra, tetapi belum pernah langsung dari mulut Mas Gege. Dan ternyata rasanya lebih tak nyaman. Apalagi saat melihat ekspresi sedihnya itu, membuat hatiku ikut sakit.

"Wis ndang turun. Aku mau ke warung dulu." Taufik memecah kesunyian yang sempat menyergap kami.

"Ngopi lagi?" tanya Mas Gege.

Taufik terkekeh-kekeh. "Yo ora, Mas. Gendeng opo! Wong tadi wis ngopi, kok. Ya nyamil aja."

"Ikutan ke makam sama kami, gimana?" tawarku, yang langsung disambut gelengan kepala oleh Taufik.

Setelah tersenyum usil, dia menjawab, "Emoh, ah. Nanti mengganggu momen manis kalian berdua."

"Lambemu!" gerutuku sambil memukul keras lengan Taufik, membuatnya menjerit kesal sambil menatap protes padaku. Sementara itu, Mas Gege tertawa terbahak-bahak melihat tingkah kami.

Selanjutnya, kami bertiga turun dari mobil, di mana Taufik langsung menuju warung seberang jalan agak ke utara sedikit dan aku serta Mas Gege berjalan masuk ke area pemakaman.

"Orang-orang tuh liatnya gimana kondisi Mas Gege sekarang, makanya banyak yang julid. Mereka enggak tau gimana hidup Mas Gege di masa lalu. Kalaupun tau pasti ya enggak peduli, masa bodoh gitu." Entah kenapa, aku tak tahan dan ingin kembali mengangkat topik tentang apa yang dialami Mas Gege selama tinggal di Randukerto.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang