Level 21

928 134 35
                                    

Kuhela napas panjang sebelum tersenyum di depan kaca toilet pom bensin ini. Saat ini aku sudah berada di Ngawi, rencana akan berkunjung ke rumah bapaknya Mas Gege. Kebetulan Taufik mau dimintai tolong untuk mengantarkanku dan Mas Gege.

Entahlah, sejak statusku dan Mas Gege naik level, justru rasanya canggung jika pergi hanya berduaan dengannya. Maka, aku meminta pada Mas Gege untuk mengajak Taufik--sekaligus menjadikannya sopir mobil Mas Gege--saat pergi ke Ngawi. Dan syukurlah Mas Gege setuju. Hm, mungkin dia memahami apa yang kurasakan.

Kuhela napas lagi, lalu membenarkan pasmina instan warna salem yang kini tengah kukenakan. Sekali lagi aku tersenyum. Senyum yang kusunggingkan tak terlihat canggung atau dibuat-buat, membuatku merasa tenang. Bismillah, semua pasti akan berjalan lancar.

Sambil meninggalkan toilet, aku teringat ketika Mas Gege bertanya padaku sebelum kami pulang dari kantor, tentang apakah akhir pekan--yaitu hari ini, Sabtu malam--aku ada agenda atau tidak. Tentu saja aku langsung tahu ke mana arah pertanyaan Mas Gege tersebut, berdasarkan pengalaman saat akan diajak bertemu dengan Mbak Linda dan Mas Elang dulu. Dan benar, setelah kujawab tidak ada agenda, Mas Gege langsung bertanya apa aku mau jika dia ajak bertemu bapaknya di Ngawi.

Tentu saja aku kaget dan kebingungan harus menjawab apa. Jujur, meski sudah mengira bahwa cepat atau lambat akan terjadi, tetapi tetap saja saat pada akhirnya hal ini ada di depan mata, rasa ragu kembali menyerang. Terlebih ketika pertanyaan besar berputar di kepalaku, apakah bapaknya Mas Gege akan menerimaku dengan baik? Bagaimana jika yang terjadi adalah ... sebaliknya?

"Udah, Mbak?" tanya Mas Gege dari kursi penumpang bagian depan, begitu aku masuk mobil dan duduk di kursi kedua.

"Iya, Mas," jawabku sambil tersenyum, lalu membenarkan bagian dada pasmina yang kupakai ini.

"Enggak usah grogi, Mbak Nad. Anggap aja kaya mau ketemu guru BK," celetuk Taufik tanpa menoleh padaku.

"Atau ketemu dosbing," sambung Mas Gege di antara tawa gelinya.

Mau tak mau aku ikut tertawa geli setelah mendengar perkataan dua lelaki tersebut. Rasa gugup ini masih ada, tetapi agak berkurang karena dicairkan oleh banyolan Taufik dan Mas Gege.

"Tapi, serius lho aku enggak nyangka kalau kalian bakal sejauh ini," kata Taufik sambil mulai mengemudikan mobil.

"Emang sejauh apa?" Mas Gege yang menyahut, sementara aku memilih diam saja. Sebenarnya karena merasa malu sendiri, sih. Kenapa juga si Taufik ini membahas hubunganku dan Mas Gege? Bisa atau tidak sih kalau dia itu diam saja seperti biasanya? Entah kenapa, hari ini sosok Taufik yang biasanya selalu terlihat masa bodoh malah berubah menjadi seperti mas-mas penyiar infotainment. Huh!

"Sejauh mata memandang," jawab Taufik, lalu tertawa terbahak-bahak disusul Mas Gege. Aku yang ikut geli pun tak bisa menahan tawa.

"Tapi, aku seneng. Kalian cocok kok. Cocok banget malah. Bapak-bapak dan ibu-ibu di kantor juga keliatan seneng liat kalian berdua, terlebih Pak Carik sama Bu Wuri tuh." Taufik menjeda perkataannya setelah menekan klakson dan mengarahkan mobil masuk ke Jalan Brawijaya, menuju rumah bapaknya Mas Gege. "Bener kene iki to, Mas?" tanyanya, dijawab 'iya' dengan cepat oleh Mas Gege.

Tak ada obrolan apa pun setelahnya, sampai akhirnya mobil berhenti. Setelah menghela napas panjang, kuputuskan bersuara. "Moga-moga aja kalau banyak yang restuin, ya bakal lancar semuanya. Termasuk buat hari ini."

Aku tak menyangka bahwa perkataanku barusan membuat Mas Gege dan Taufik tertarik, sampai mereka menghentikan gerakan akan membuka pintu, lalu menatapku. Sama-sama dengan wajah kaget.

"Eh?" Kugaruk pipi kanan yang tak gatal ini. "Ya enggak ada salahnya doa kaya gitu, kan?" Kemudian, aku tertawa kikuk.

"Mbak Nad kepikiran, to? Takut bapaknya Mas Gege enggak setuju--"

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang