Level 8

1K 157 42
                                    

"Wis pulang to kamu? Kok tumben enggak ke kamar Mama?"

Pertanyaan Mama membuatku urung masuk kamar, menatap ke arah beliau yang datang dari arah dapur. "Baru sampai, Ma. Nih masih nyangklong tas dan pakai batik kerja," jawabku datar.

Mama berdeham sambil mendorong kursi rodanya mendekat padaku. Selama beberapa saat setelah berhenti tepat di depanku, Mama menatap kedua mataku dengan tajam, membuatku agak risi.

"Kamu sama Mas Gege ada apa?"

Pertanyaan Mama membuatku mengerutkan kening. "Heh? Ada apa apanya, Ma? Kan kami kerja di kantor yang sama. Aku karyawan desa yang tugasnya bantu kerjaan para perangkat desa. Termasuk Mas Gege."

"Maksud Mama bukan masalah kerjaan. Tapi di luar itu, Donat!" Aneh, kenapa nada bicara Mama jadi sengak begitu, sih?

"Aku enggak paham deh, Ma." Kuangkat bahu, lalu bersiap akan masuk kamar. "Wis ya, Ma. Aku ganti baju dulu--"

"Kamu yang naksir Mas Gege atau Mas Gege yang naksir kamu atau kalian sama-sama naksir dan udah pacaran?"

Pertanyaan Mama membuat jantungku serasa hampir berhenti berdetak. Kutatap Mama dengan kedua mata melebar.

"Mama! Kok nanyanya gitu, sih?"

"Ya habis, masa kalau sebatas rekan kerja kalian malah berduaan di sawah proyek sambil haha hihi dan dempet-dempetan? Malu, Nad, diliat orang! Kamu itu pendatang, anak baru. Lebih-lebih bapakmu itu Kasun. Mbok dijaga to wibawa e bapakmu! Kalau emang kamu suka sama Mas Gege atau kalian pacaran, meski kalian sama-sama anak kota yo jangan berduaan seperti itu! Budaya di desa beda!"

"Astaghfirullah, Mama!" Tanpa sadar aku mengepalkan kedua tangan. Gemas sekali rasanya pada Mama. Kenapa sih beliau menuduhku dengan sekejam itu? "Gimana mau pacaran? Aku sama Mas Gege aja belum ada sebulanan kenal!"

"Namanya wong naksir ya bisa aja. Mana kalian kan tiap kerja ketemu, sering ngobrol pastinya. Mas Gege juga ganteng, anak orang kaya. Pastinya kamu--"

"Wis, wis, Ma. Wis, ya? Embuh siapa yang laporan ke Mama tentang aku sama Mas Gege di sawah 3 hari lalu, tapi kami di sana itu murni cuma liat proyek. Kebetulan aku hampir jatuh dan ditolong sama dia. Demi Allah beneran enggak sengaja jatuh, bukan modus. Jadi, terserah Mama mau lebih percaya sama laporan orang atau aku, yang pasti aku enggak ada niat macem-macem sama Mas Gege waktu di sawah itu."

Mama merengut, terlihat masih belum puas. "Orang-orang enggak peduli, Nad, mau kamu ngapain sama Mas Gege dan niat kalian di sana ngapain. Yang mereka tau kalian tuh berduaan dan dempet-dempetan. Jadi, kalau kamu enggak mau jadi omongan orang, jaga sikap!"

Aku membuang napas kasar. "Duh, Ma! Lama-lama muak deh aku kalau dikit-dikit kudu bertindak sesuai standar orang-orang sini."

"Nadia! Mama ini ngasih tau biar kamu enggak diomongin dan bikin malu bapak kamu!"

Aku tak mau kalah. Entahlah. Rasa lelah setelah pulang kerja, udara siang menjelang sore yang terik di hari Senin yang padat ini, membuatku jadi mudah tersulut emosi.

"Padahal Om Imam bodo amat, lho. Enggak pernah tuh beliau nyuruh-nyuruh aku kaya Mama gini," balasku dengan nada kesal.

Mama membuka mulut, kedua tangannya mengepal. Meski sebenarnya ada rasa iba dan bersalah dalam diriku pada Mama, tetapi perasaan kesal dan keinginan protes akan sikap ibuku itu membuatku tetap bertahan dengan argumen yang baru saja kulontarkan. Tidak buru-buru minta maaf atau mengalah pada Mama.

Namun, tiba-tiba Mama kembali menutup mulut dan malah menghela napas panjang. Hening yang cukup lama menyelimuti kami berdua. Canggung, sangat tak nyaman.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang