Level 16

944 131 31
                                    

Setelah memarkir motor, buru-buru aku berjalan menuju tengah proyek pavingisasi jalan blok sawah bagian timur Dusun Randu 2, di mana Mas Gege sudah berada di sana dan terlihat tengah mengambil beberapa gambar dengan kamera iPhone miliknya.

Langit mendung, sepertinya sebentar lagi hujan. Sekitar setengah jam lalu azan Asar berkumandang. Selepas salat, aku langsung menuju ke sini karena sudah janji pada Mas Gege akan menggantikannya mengambil beberapa foto 100% yang diminta oleh Pendamping Desa.

Memang tadi siang selepas Zuhur Mas Gege izin pulang awal karena akan menjenguk bapaknya di Ngawi. Katanya juga mas iparnya pulang kampung, jadi dia pun terlihat terburu-buru untuk segera pulang Ngawi dan memintaku menggantikannya mengambil foto proyek pavingisasi ini.

Namun, aku terkejut karena lelaki itu sudah ada di sini. Apa yang membuatnya kembali lagi ke Randukerto padahal kupikir bisa jadi dia akan menginap di rumah Ngawi, ya?

"Eh, Mbak Nadia," sapa Mas Gege begitu menyadari kedatanganku.

Aku mengatur napas setelah berjalan cepat karena tergesa-gesa, lalu mengangguk pada Mas Gege. "Kok baliknya ke sini cepet, Mas? Kirain bakal nginep di Ngawi. Saya jadi merasa bersalah karena telat ambil foto proyek dan malah jadi Mas Gege sendiri yang ngambil."

Mas Gege tertawa geli sambil memasukkan ponsel ke saku celananya. "Ya Allah, padahal ya emang ini tugas saya, Mbak. Justru saya yang harusnya merasa bersalah karena udah repotin Mbak Nadia. Minta tolong seenaknya, padahal kan Mbak Nadia juga ada tanggungan di rumah."

"Haish!" gerutuku sambil berjalan mendekati Mas Gege. Kini kami berdiri bersebelahan. "Kan emang saya udah nyanggupi bisa bantu, Mas. Dan saya seneng kok bantu Mas Gege. Sama kan kaya Mas Gege yang juga seneng kalau bisa bantu saya?"

Setelah mengatakan demikian, aku baru sadar bahwa suasana di antara kami langsung berubah menjadi canggung. Mas Gege mengalihkan tatapan mata dariku sambil menggaruk pipi, sementara aku juga mengalihkan tatapan mata darinya sambil memilin ujung jilbab.

Sudah seminggu kami seperti ini jika sedang berduaan. Sebenarnya tak ada niat sengaja berduaan, tetapi beberapa kali keadaan memaksa kami untuk berinteraksi hanya berdua saja. Kebetulan memang pekerjaan proyek banyak di-handle oleh Kaur Perencanaan dan secara khusus Mas Haikal memintaku membantu pengadministrasian yang berkaitan dengan proyek, mulai dari dokumen Pengadaan Barang dan Jasa, LPJ dan sebagainya.

Seminggu yang lalu Mas Gege mengatakan hal yang sama sekali tak kuduga akan keluar dari mulutnya, yaitu ingin mengenalku lebih dekat bukan sebagai rekan kerja atau teman atau sahabat, tetapi lawan jenis yang mengarah ke hubungan ... begitulah. Terlebih dia ada niat mau meminta izin ke Om Imam dan Mama, jika aku memperbolehkan.

Sayang, sampai seminggu berlalu, yaitu hari ini, aku belum kunjung memberinya jawaban pasti karena masih kebingungan sendiri harus bagaimana.

Coba bayangkan! Usia 24 tahun dan belum pernah terpikirkan menikah dalam waktu dekat, sedang fokus mengurus Mama yang sakit dan juga sudah kapok berpacaran setelah putus dengan Rensha, tetapi tiba-tiba Mas Gege datang dan mengatakan hal tersebut padaku.

Usianya sudah 30 tahun, wajar jika Mas Gege siap berumah tangga. Apalagi 5 tahun lalu dia sudah akan menikah sebelum akhirnya gagal karena calon istrinya meninggal dunia. Secara karakter, Mas Gege sudah cukup dewasa dan finansialnya pun bisa dikatakan sangat matang.

Sementara aku ...?

"Eh, Mbak. Coba lihat deh, ada ular--"

Tanpa sadar aku melompat dan bersembunyi di belakang Mas Gege, mencengkeram kedua lengannya dengan kuat sambil terus menjerit ketakutan.

"Mbak, Mbak. Astaga! Itu ularnya di sawah, enggak di sini."

Sejujurnya aku mendengar apa yang dikatakan Mas Gege. Namun, rasa terkejut masih membuatku tetap kuat mencengkeram kedua lengannya sampai beberapa saat lamanya.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang