Level 18

1K 135 35
                                    

Kuremas jemari sambil melirik Mama yang masih menatap Mas Gege dengan ekspresi datar. Aku tak bisa menerka apa yang tengah ada dalam hati beliau. Tidak ada gelagat marah, kesal, atau bahkan tak suka dengan kehadiran Mas Gege di rumah ini.

Lirikanku berpindah dari Mama kepada Om Imam yang masih memamerkan ekspresi senang dengan adanya Mas Gege di antara kami. Beliau begutu asyik mengobrol dengan Mas Gege.

Kuhela napas pelan. Kebetulan 4 hari lalu aku sudah memberikan jawaban pada Mas Gege. Tepatnya saat kami tinggal berdua di kantor, waktu hujan deras disertai angin turun. Kemudian, esok harinya aku mengajak bicara Om Imam yang langsung menanggapi dengan positif. Beliau terlihat senang sekali dan menyarankan padaku untuk segera memberi tahu Mama.

"Tapi, Mama kayanya kurang sreg sama Mas Gege, Om," sahutku pelan sambil memilin ujung jilbab. Waktu itu aku dan Om Imam duduk berdua di ruang tamu, sementara Mama sudah tidur di dalam kamar.

Om Imam mengerutkan kening, ekspresinya terlihat bingung. "Lha, kenapa?"

Aku mengangkat bahu. "Pernah sih Mama ngomong sama aku, katanya aku suruh mikir yang realistis aja. Mas Gege kan orang kaya, sementara kita ya gini kondisinya. Mama bilang kalau enggak mau aku nanti malah banyak makan hati, atau Mas Gege enggak bisa ngejalani hidup dengan kondisi kaya kita ini, Om."

Om Imam tertawa geli. "Mama kamu emang ada-ada aja. Tapi, yo dimaklumi aja, Nad. Semenjak sakit, mama kamu emang sensitif banget. Yo kamu kan tau sendiri, emang udah dasarnya sifat mama kamu itu sensitif, gampang banget kepikiran sama sesuatu, ditambah kondisi fisiknya enggak bagus, makanya yo psikisnya agak kaya gitu."

Om Imam tersenyum lembut padaku. "Pelan-pelan wae ngomongnya, Nad. Intinya coba kamu bilang kalau Mas Gege serius sama kamu dan enggak baik juga nolak niat baik orang. Apalagi Mas Gege enggak ngajak kamu pacaran, to? Niatnya langsung serius buat nikah. Kalau menurut Om, misal ada laki-laki yang sampai rela datangin orang tua si perempuan, tandanya dia beneran serius. Om yakin mama kamu enggak mungkin enggak mengizinkan Mas Gege main ke rumah. Meski yo agak terpaksa ngizinkan, yang penting mereka biar ketemu dulu. Biar mama kamu tau sendiri dari Mas Gege tentang keseriusan dia sama kamu."

Aku mengangguk pada Om Imam. Setelah mendengar perkataan beliau, semangatku kembali datang. Iya sih, benar kata Om Imam. Tidak ada salahnya mencoba meminta izin Mama, toh beliau juga tidak mungkin melarang Mas Gege datang. Mama juga perlu tahu seberapa seriusnya Mas Gege pada niatnya itu, bukan hanya dari perkataanku, tetapi dari yang bersangkutan sendiri.

Setelahnya, aku membulatkan tekad untuk mencoba berbicara pada Mama pada keesokan harinya, yaitu selepas salat Asar, saat Mama sedang santai sambil menonton televisi di kamar. Semenjak Mama kesulitan mrnggerakkan sendiri kursi rodanya ke mana-mana, Om Imam membelikan Mama televisi kecil untuk diletakkan di dalam kamar. Memang barang bekas, tetapi Mama senang karena bisa menonton televisi tanpa harus sering-sering keluar kamar.

Tentu awalnya sangat gugup, karena pikiran bagaimana jika Mama marah atau kesal karena aku ngeyel tetap mau menerima Mas Gege itu terus memenuhi otak. Namun, kukuatkan lagi tekad untuk berusaha meminta izin Mama. Tentunya sambil mengingat perkataan Om Imam bahwa Mama tidak akan mungkin menolak kedatangan Mas Gege meskipun dengan terpaksa menyetujuinya. Dengan karakter Mama yang tidak enakan pada orang lain, apalagi sebenarnya Mama juga bukan tidak suka pada pribadi Mas Gege--tetapi lebih kepada perbedaan kondisiku dan lelaki itu--tentu beliau tak akan terang-terangan menolak.

"Ya kalau emang mau main ya main aja. Masa kalau ada orang mau silaturahmi kok enggak boleh?" Begitu jawaban Mama atas permintaan izin yang kusampaikan. Beliau mengatakan itu dengan nada dan ekspresi datar. Meski kurang puas, tetapi sebisa mungkin aku tersenyum dan mengangguk sambil mengucapkan terima kasih pada beliau.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang