Another Level

1.6K 150 78
                                    

"Hadeh! Nyebelin! Nyebelin!" Sambil menggerutu, aku duduk di kasur dengan kasar, tepatnya di sebelah suamiku yang sedang membaca Alquran. Hari Minggu pagi dengan mendung tebal menggelayut di atas sana, kami berdua tidak ngantor dan berencana akan quality time di rumah seharian ini.

Cieh, suamiku. Sekarang ini statusku sudah sah sebagai istri dari lelaki bernama Aghia Garvi Arsyanendra alias Gege. Manusia manis, ganteng, keren sejagat raya.

"Ada apaan, sih, Nad?" Mas Gege meletakkan Alquran yang sudah selesai dia baca ke meja nakas dekat kasur kami. Setelah menikah, aku ikut Mas Gege tinggal di rumahnya--bekas rumah Mbah Carik--yang selama di Randukerto dia tempati. Mama yang menyuruh. Lagian juga dekat jaraknya dengan rumah Mama dan Bapak, jalan kaki juga seperti mengedipkan mata sudah sampai. Wong ya masih satu RT.

"Biasa. Ibu-ibu resek!" Aku memanyunkan bibir. "Masa iya aku wis ditanyain udah isi apa belum? Kalau isi nasi ya belum, wong baru belanja buat sarapan ini nanti."

Mas Gege terbahak-bahak, membuatku makin memanyunkan bibir. "Kok Mas malah ngakak? Seneng ya kalau istrinya diejekin?"

"Ya Allah! Enggak gitu, Nadia Sayang." Mas Gege menghentikan tawa, tetapi masih tetap berekspresi geli, seperti tengah berusaha menahan agar tawanya itu tak kembali keluar.

Kemudian, sambil mengelus pucuk kepalaku dia berkata lagi, "Biarin aja kenapa, sih? Toh kamu juga udah tau to kalau pertanyaan mereka itu aneh bin konyol? Enggak usah ditanggapin, Nad."

Aku tak menjawab, masih manyun. Setelahnya, kudengar helaan napas Mas Gege bersamaan dengan pindahnya tangan suamiku itu dari pucuk kepala ke tangan kiriku.

"Aku yakin mereka enggak ada niat ngerendahin kamu. Masa iya kamu enggak hafal-hafal kebiasaan orang desa sini, sih? Kan cara basa-basi mereka modelan kaya gitu. Daripada enggak ada yang diobrolin, kan? Nah, kebetulan kamu udah nikah, mana manten anyar, makanya yo yang dibahas pasti enggak jauh-jauh dari perkara anak."

"Tapi, nyebelin, Mas!" sahutku gusar, tetapi sambil membalas genggaman tangan Mas Gege. "Kalau aku hamil cepet ntar dikira hamil duluan sebelum nikah. Nah, giliran belum hamil kaya gini ditanyain mulu. Ntar udah hamil beneran ditanya kapan lahiran. Udah lahiran dan anaknya agak gedhean dikit ditanya kapan nambah. Gitu terus!"

Mas Gege kembali tertawa. "Mikirmu kejauhan, Nad." Yang mengejutkan, tiba-tiba dia menarik tanganku dan mengecupnya lembut. Rasanya jantungku mendadak berdebar sangat kencang, sampai mau meledakkan dada ini. "Dibikin santai aja, lah," lanjutnya, lalu tersenyum.

Namun, belum sempat aku menanggapi ucapannya itu, Mas Gege mengerutkan kening sambil kembali bersuara. "Tapi, kok kamu akhir-akhir ini jadi makin sensitif sih, Nad? Padahal biasanya udah masa bodoh aja gitu sama komentaran apa pun di luar sana." Mas Gege makin mengerutkan kening. "Atau jangan-jangan ... kamu beneran hamil?"

"Ngawur, kan!" sentakku sambil melepaskan tangan dari Mas Gege. "Hamil sama siapa, coba?"

"Gusti Allah! Ya bojomu iki lah, Nad!" Mas Gege menggerutu, wajahnya terlihat kesal. Namun, entah kenapa justru itu membuatku gemas padanya.

"Punya suami kok masih tanya hamil sama siapa!" Gerutuan Mas Gege membuatku tak bisa menahan tawa. Dia tambah merengut kesal saat menatapku terbahak-bahak.

"Ya maksudnya tuh aneh, Mas. Masa iya bisa cepet hamil. Padahal kita baru ni na ni nu beberapa kali--"

"Eh!" Wajah Mas Gege mendadak memerah. "Ojo keras-keras!"

"Apaan? Di rumah cuma ada kita!" Aku meninggikan suara, sengaja menggoda. "Mas Gege malu? Kenapa? Ahahaha ...."

Mungkin karena kesal--bisa jadi juga gemas--Mas Gege langsung menghujaniku dengan gelitikan.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang