Level 2

1.5K 178 28
                                    

Mood-ku hari ini agak anjlok. Itulah mengapa, mau makan gorengan atau minum es teh pun rasanya tidak selera. Bagaimana tidak? Di teras rumah sedang berlangsung agenda bulanan dusun, yaitu Posyandu.

Posyandu-nya sih tidak masalah, ya. Malah menurutku seru lihat para balita itu diukur tinggi dan berat badannya. Yang masih bayi di timbangan tidur, yang sudah agak besar di timbangan gendong atau digital.

Begitupun untuk tinggi badan. Yang bayi ada alat khusus dalam posisi ditidurkan, lalu ada semacam penggaris di pinggirnya untuk melihat berapa panjang tubuh mereka. Sementara itu, anak-anak yang sudah bisa berdiri diukur dengan alat yang digantung di dinding.

Beberapa anak menangis saat diukur di timbangan gendong. Namun, rasa gemas pada anak-anak itu kalah dengan ketidaknyamanan yang kurasakan saat berada di antara ibu-ibu kader Posyandu.

Justru karena mereka memperlakukanku terlalu sopan, rasanya jadi canggung sekali. Analisisku sih mereka melakukan itu demi menghormati Mama selaku Bu Wo sekaligus Ketua Posyandu Randu 1. Dan selain itu, bisa jadi karena memang belum terlalu kenal dekat denganku, sehingga muncul beragam asumsi tentangku di pikiran mereka masing-masing.

Pikiran buruk mulai menyerangku. Dugaan tentang mereka yang mungkin menganggapku angkuh atau sombong karena berasal dari kota besar, mulai meracuni pikiran ini.

Meski berusaha masa bodoh, tetapi apa yang ada di depan mata kembali membuat ketidaknyamanan ini terus datang dan seolah tak mau pergi meninggalkanku.

Masa iya mereka berbahasa Jawa sangat halus kepadaku? Itu lho, krama inggil, tingkatan bahasa Jawa yang paling tinggi untuk orang yang sangat dihormati.

Yah, kalau untuk Mama sih wajar, karena ibuku itu atasan mereka. Lha kalau kepadaku? Rasanya malah aneh. Seharusnya krama yang biasa saja sudah cukup, tak perlu nginggil-nginggilan segala. Hadeh.

"Mbak Nadia, pangapunten. Dipanggil mamanya."

Nah, kan. Begitu contohnya. Padahal Bu Martono ini usianya sudah hampir 60 tahun. Kenapa sih bicaranya tidak bisa santai? Kan aku jadi makin canggung.

"Nggih, Bu." Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi, kan? Hanya itu jawabanku dan kemudian segera menemui Mama.

Ternyata Mama menyuruhku untuk membantu Mbak Yani merekap data-data Posyandu. Mama memang tipe orang yang agak perfeksionis kalau terkait pekerjaan. Semua berkas harus rapi dan segera diselesaikan agar lekas dikumpulkan sebagai laporan pertanggungjawaban bulanan dari Posyandu Randu 1 kepada desa.

"Kalau enggak segera diserahin LPJ-nya, bisa menghambat cairnya dana untuk PMT (pemberian makanan tambahan--support makanan yang biasa diberikan kepada balita saat Posyandu) bulan depan." Begitu kata Mama padaku dan juga semua kadernya.

Tentu aku tak menolak. Ini pertama kalinya aku ikut Posyandu setelah pindah ke sini. Hitung-hitung untuk pengalaman juga, bisa tahu bagaimana seluk-beluk Posyandu yang selama ini hampir tak kuketahui sama sekali--karena memang bukan suatu hal yang berkaitan langsung denganku.

Selain itu, alasanku setuju membantu Mama karena memang keputusanku menetap di desa adalah bisa menemaninya di masa-masa berat dalam kondisi sakit dan sulit berjalan saat ini. Meski terkadang kesal kalau perintah Mama itu kaitannya dengan agenda yang membuatku harus berinteraksi intens dengan orang-orang desa.

Namun, saat baru mulai merekap daftar hadir, aku mendengar sesuatu yang tak menyenangkan. Tepatnya saat seorang ibu muda yang belum kutahu namanya datang untuk mengambil buku KIA yang tengah dikerjakan oleh Mbak Yani.

"Anakmu ini di garis kuning lho, Nis. Piye to kamu ini? Enggak mbok kasih makan po piye anakmu itu?"

Segera kulirik ibu muda yang tengah diomeli Mbak Yani itu. Ekspresi wajahnya terlihat kecewa, meski kemudian lekas dia ganti dengan senyum sesopan mungkin.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang