Level 14

949 151 28
                                    

Selama ini aku selalu mengedepankan gengsi. Dulu waktu SD, aku pernah naksir teman sekelas yang adalah ranking 1 di kelas. Namanya Fian, entah di mana dia sekarang.

Yang kulakukan saat itu hanya diam saja. Ya, namanya anak kecil, cinta monyet. Aku sudah cukup merasa senang saat bisa berbincang atau bercanda dengan Fian, tidak lebih dari itu. Tentu saja aku tak pernah mengungkapkan perasaanku padanya, sama sekali tidak pernah.

Pun saat aku berpacaran dengan Kharis atau Rensha, mereka berdua lah yang lebih dulu mendekati dan kemudian menyatakan perasaan padaku. Mereka yang pertama mengajakku berpacaran dan aku dengan mudahnya menyetujui hal itu.

Awal mulanya sih semua berjalan lancar, manis, menyenangkan. Kharis sangat perhatian sampai beberapa minggu kami berpacaran. Kemudian, setelah naik kelas 3 dan kami beda kelas, dia justru makin dekat dengan teman sebangkuku yang kebetulan satu ekskul basket dengannya.

Tak hanya akhirnya berselingkuh, Kharis dengan santainya selalu berutang uang padaku. Alasannya karena aku pacarnya, maka hanya diriku lah yang bisa dimintai tolong olehnya.

Bodohnya lagi, saat itu aku tak memiliki pikiran buruk dan oke-oke saja mengeluarkan uang untuk memberikan pinjaman pada Kharis. Sampai akhirnya bangkai yang busuk itu tercium olehku dan tanpa pikir panjang kuputuskan hubungan asmara dan pertemananku dengan Kharis serta Tia--teman sebangku berengsek yang dengan tega menikung diriku.

Ada hikmah aku putus dengan Kharis karena bisa menjalani kehidupan SMA dengan lebih nyaman. Aku pun bisa mempersiapkan ujian akhir dengan tanpa gangguan apa pun hingga akhirnya diterima di UB.

Kupikir kehidupan asmaraku akan berjalan dengan lebih baik setelah usia makin bertambah dan pernah mengalami hal tak menyenangkan di masa SMA dulu. Dan kupikir Rensha, lelaki yang kutemui di BEM Vokasi itu, adalah lelaki baik serta setia. Siapa tahu dia adalah pelabuhan terakhirku, mengingat banyak pasangan suami istri yang mengawali hubungan asmara dari bangku perkuliahan.

Ternyata lagi-lagi aku mendapatkan zonk! Rensha lebih bajingan dari Kharis. Hanya dengan mengingat apa yang telah dia lakukan saja sudah membuatku muak. Sampai mati, aku tak sudi bertatap muka dengannya lagi.

Sayangnya, meski sudah lama aku merelakan semua dan tak ingin menaruh dendam pada keduanya, tetapi kenangan buruk itu kadang masih juga lewat di kepalaku. Apalagi jika pikiran tentang jodoh tiba-tiba datang dan menggangguku.

Ini hari ketiga Mama dirawat di rumah sakit. Syukurlah pagi tadi Mama sudah dipindah ke kamar rawat VIP ini, karena kondisi beliau yang mulai membaik sejak kemarin siang. Namun, yang menyebalkan saat Mama sudah mulai bisa kembali berkomunikasi--dan mengomeliku--dengan lancar, yang dikeluhkannya pertama kali adalah takut mati dalam keadaan belum melihatku hidup nyaman, alias sudah menikah.

Mama mengatakan dengan gamblang bahkan di depan Om Imam dan Pakpuh Seno sekalipun, bahwa beliau khawatir jika meninggal dunia maka aku akan tinggal dengan siapa nantinya, mengingat rumah di Malang juga sudah disewakan pada orang lain.

"Jelas enggak mungkin kalau Nadia bakal tinggal berdua sama njenengan to, Mas? Iya, aku tau njenengan enggak akan ngapa-ngapain Nadia, tapi pandangan orang-orang gimana kalau kalian tinggal bersama dengan status sebagai ayah dan anak tiri?"

Om Imam hanya tersenyum mendengar perkataan Mama itu. Sesungguhnya aku tahu bahwa beliau pasti tak ingin menanggapi apa pun karena takut salah ucap. Aku sendiri merasa lega melihat rona wajah Om Imam yang sudah kembali cerah setelah keadaan Mama mulai membaik. Meski memang masih lemah, setidaknya Mama sudah mau makan dengan lahap.

"Wis, saiki awakmu fokus sembuh dulu aja, Dek. Daripada khawatir sama hal yang masih enggak jelas, kan lebih baik semangat buat bisa kembali sehat seperti sedia kala dan Nadia masih bisa tinggal sama awakmu dan Imam." Akhirnya Pakpuh Seno bersuara, terlihat berusaha menenangkan Mama.

Another Level [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang