Permintaan Maaf

62 6 11
                                    

— 𝙁𝙍𝙄𝙀𝙉𝘿𝙕𝙊𝙉𝙀 —

Farel dan Cakra berada di ruangan Rachel saat ini, setelah hampir bertengkar dengan Juan, akhirnya mereka bisa sampai juga di tempat tujuan. Di ruangan hanya ada Rachel, entah pergi ke mana orang-orang.

"Sudah, Ma?" tanya Rachel. "Rahel mau minum, haus."

Farel dan Cakra saling menatap, tentu keduanya dibuat bingung dengan cara Rachel menatap lurus ke depan. Betapa kosongnya pandangan Rachel saat ini, hingga mereka berpikir bahwa Rachel marah pada mereka.

"Kenapa Mama diam saja?" tanya Rachel.

Begitu satu langkah Farel terdengar, barulah Rachel menoleh. Hening untuk waktu yang cukup lama, sebelum pada akhirnya air mata menetes dari pelupuk matanya. Rachel yakin, jika yang saat ini memasuki ruangannya bukanlah Mama Sona. Mama tidak mungkin diam saja saat ia bertanya, apalagi saat dia bilang jika dia kehausan.

Farel melanjutkan langkahnya, ia mengangkat segelas air dan menyerahkannya kepada Rachel. Rachel hanya diam, sebab mana dia tahu jika saat ini ada gelas yang sedang diulurkan kepadanya. Jangankan mengetahui keberadaan gelas itu, tentang orang yang masuk ke ruangannya saat ini pun Rachel masih dibuat bertanya-tanya. Siapakah?

"Rahel," panggil Cakra pada akhirnya. "Kenapa dibiarkan saja? Farel udah ngasih air buat lo."

Rachel reflek mengangkat tangannya untuk mengambil, namun tidak tepat hingga yang terjadi malah menjatuhkan gelas itu dari genggaman Farel. Cakra mendekat, ia dan Farel dibuat mematung atas tindakan Rachel.

"Lo marah sama kita?" tanya Cakra. "Tapi ngga harus sampai begitu, Hel."

"Rahel," panggil Farel. "Kenapa?"

"Kalo memang lo masih marah sama kita, seenggaknya lo—"

"Buat apa kalian di sini?" Rachel memotong ucapan Cakra, suaranya terdengar gemetar.

"Lihat gue, Hel!" tukas Farel. Ia bahkan sampai meraih kedua bahu Rachel dan mengarahkan tubuh Rachel agar menghadap ke arahnya. "Lihat gue, Rahel!"

Rachel bergeming, tetapi bibirnya tampak gemetar dengan disertai air mata yang terus menetes membasahi pipi.

"Lihat gue, Rahel!" tekan Farel. "Gue di depan lo! Gue lagi ngomong sama lo, lihat gue!"

"NGGA BISA, FAREL!" teriak Rachel. "Gue ngga bisa ngeliat, gue buta, gue ngga bisa ngeliat apa-apa lagi selain gelap! GUE BUTA FAREL, GUE BUTA CAKRA!" Rachel berteriak di akhir kalimatnya.

Hening seketika. Kedua tangan Farel di bahu Rachel merosot, cowok itu menggelengkan kepalanya dan tersenyum picik.

"Lo ngga asyik, Hel," kata Farel. "Lo dengar apa yang diucapin sama sahabat kita? Dia bilang dia buta, memang sedeng sahabat kita ini, Cak."

Cakra hanya bergeming.

"Cak, lo mau ngelakuin apa ke anak ini? Beraninya dia mengatakan omong kosong tentang dirinya sendiri, beraninya dia—Hel!!!" Farel memekik di akhir kalimatnya, ia meraih lagi kedua bahu Rachel dan langsung mengguncangnya. "Jangan bohong! Jangan bercanda!" mohon Farel dengan suara yang gemetar, tentu saja ia tak mampu membendung air matanya.

"Terserah."

Cakra memijat pangkal hidungnya mereda pening, kepalanya sungguh berdenyut begitu menerima kenyataan bahwa sahabat perempuannya sedang tidak baik-baik saja. Cakra menangis juga pada akhirnya, walau tangannya bergerak cekatan menyeka air mata itu.

"Ngga usah temui gue lagi," kata Rachel. "Kalian bukan sahabat gue juga akhir-akhir ini, selain kehilangan nikmat melihat, gue juga udah lama kehilangan lo berdua."

Farel menggeleng, ia langsung saja memeluk Rachel dan disusul oleh Cakra yang merasa bersalah karena sudah banyak menghabiskan waktu dengan orang yang dicintainya, dibanding dengan sahabat mereka, Rachel. Namun, bukankah saat dewasa memang berhak untuk mengejar cinta masing-masing? Farel dan Cakra juga punya perasaan, mereka yang jatuh cinta tak mungkin terus-terusan menyembunyikan perasaan mereka.

Begitu pelukan merenggang, mereka meminta maaf.

"Maaf, Hel."

"Maafin kita, Hel."

Rachel tersenyum hambar. "Gue udah kehilangan kalian, kalian ngga perlu minta maaf."

"Hel~" panggil Farel lembut sekali, ia memegang wajah Rachel dan mengusap pipinya. "Gue bakalan jadi mata yang melihat dunia ini buat lo."

"Ngga perlu," tolak Rachel dingin. "Gue ngga mau jadi beban siapa pun, apalagi kalian orang-orang asing."

"Ngga." Farel menggelengkan kepalanya. "Gue sahabat lo, gue bakalan jagain lo, dan gue bakalan jadi kedua mata buat lo."

"Dara?"

"Gue ngga tahu kalau dia bakalan bersikap selicik itu, gue ngga tahu kalau orang yang gue cintai ternyata punya sifat yang gila!" beber Farel. "Sekarang, daripada gue bersama dengan orang gila seperti Dara, gue lebih baik jagain sahabat gue ini."

"Sahabat?"

"Iya, lo sahabat gue. Gue bakalan sayang banget sama lo, gue bakalan menebus rasa bersalah gue yang udah ngebuat lo merasa kalo gue ini orang asing," ungkap Farel.

"Sahabat, Rel?" tanya Rachel hambar.

"Iya, kita sahabatan, Hel."

Bukan ini yang Rachel ingin dengar dari Farel, tetapi ungkapannya terdengar lebih melegakan dibanding ketika dia menyalahkan Rachel atas kecelakaan itu. Farel memeluk Rachel lagi, menandainya sebagai sahabat.

"Pukul gue terus, gue tahu lo ringan tangan, tapi sekarang gue percaya lo begitu bukan ke semua orang," ucap Farel sembari memeluk Rachel dengan posesif. "Ayo, pukul gue. Lo cuma galak ke gue aja, dan gue terima-terima aja."

— 𝙁𝙍𝙄𝙀𝙉𝘿𝙕𝙊𝙉𝙀 —

Dara mengamuk. Dia benar-benar menangis bombay begitu menerima keputusan Farel tentang hubungan mereka. Selain itu, dia dibuat marah saat melihat postingan dari Cakra yang berisi foto mereka bertiga. Dari dulu, mereka tidak pernah menambah anggota, selalu bertiga saja. Dan itu membuat Dara kesal, dia kesepian tapi tak bisa menembus pertemanan di antara mereka.

Terlihat begitu jelas jika cewek itu menderita sekarang, dia benar-benar sangat marah atas apa yang menimpanya saat ini. Padahal, Dara sudah merangkai cerita sedemikian rupa agar mereka mempercayainya. Tapi dia lupa, jika hubungan persahabatan di antara mereka bertiga itu begitu kuat.

Dara keluar dari rumah, dia memakai baju serba tertutup sehingga orang-orang tak mungkin mengenalinya. Namun, Karina yang kebetulan sedang ada di sekitaran sana bersama Juan, malah langsung mengenalinya.

"Mau ke mana lo?"

Juan bingung, mengapa Karina menahan seseorang yang begitu asing?

"Gue tahu lo Dara," kata Karina. "Lo mau ngamuk-ngamuk di rumah sakit? Gue tahu lo gila, tapi lo—"

"Minggir," tukas Dara dingin.

"Kalo lo pergi buat ke rumah sakit, lo ngga bakalan bisa lolos," ucap Karina. "Rahel saudara gue, Rahel bakalan gue lindungi."

"Bacot."

"Ngga punya teman lo?" tanya Juan. "Makanya lo bersikap gila begini?"

"Bacot, berisik!"

"Balik sana!" suruh Karina sambil mendorong dada Dara. "Cewek gila macam lo lebih baik masuk rumah sakit jiwa!"

"BACOT LO KARINA!" jerit Dara sambil mendorong dada Karina, tapi beruntung Karina tak jatuh. "MINGGIR!"

"NGGA USAH GANGGU RAHEL LAGI, SIALAN!" teriak Karina.

— 𝙁𝙍𝙄𝙀𝙉𝘿𝙕𝙊𝙉𝙀 —

FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang