.tujuh. wisuda

16 3 1
                                    

"Gauri?" Kak Malik bertanya sekali lagi.

Kepala kutelengkan ke samping, menatap nya heran, "Karena Mamah gak bisa naik motor?" jawab ku ragu. Berharap dalam hati ini adalah jawaban yang tepat.

Kak Malik menghembuskan nafasnya kasar, dan mengacak rambut ku.

Terlalu sering diperlakukan begini membuat ku tidak lagi merespon membatu, meski jantungku tetap berdetak dua kali lipat.

"Lain kali kalau mau pergi kesini, kabarin Kakak. Nanti sama Kakak aja pergi nya."

Perhatian Kak Malik ini nih yang buat Aku sering merah sekaligus kesal. Aku bukan siapa-siapa nya kenapa harus bertingkah sepeduli ini?

Perlu Aku berteriak di wajah nya, Aku bukan pacar Kakak! Perlu?

Dengan sedikit kesal dan bibir mengerucut, Aku merapikan poniku yang berantakan ulah Kak Malik. "Lainkali ga usah acakin rambut. Berantakan nih." dumelku yang dia tanggapi kekehan. Kuberikan padanya bombastic side eye.

"Iya maaf ya Gauri." ujarnya sambil tersenyum. Sampai-sampai Aku tidak bisa membedakan yang lebih cerah langit sore ini atau senyuman manis seorang Malik. Tapi yang sama adalah perasaan nyaman yang ku rasakan pada keduanya.

Jika terus begini bagaimana ini? Aku tidak bisa menghilangkan dirinya di hati ku. Dia seakan terus mendobrak masuk. Sama sekali tidak membiarkanku menghilangkan dirinya.

Selanjutnya, di batu ini kami bersama menatap langit yang perlahan menelan matahari.

Kicauan burung, ombak, dan deru nafas kami menjadi pengisi suara dalam keheningan ini.

"Kak," Aku memulai percakapan memutuskan suasana hening, Kak Malik cuman berdehem menunggu ku bicara, "jika Kakak mencintai seseorang tetapi orang itu ternyata sudah memiliki kekasih, bagaimana Kakak akan menghadapi itu?"

Pertanyaan ini tidak pernah Aku pikirkan sama sekali, mungkin karena situasi sekarang sangat mendukung, pertanyaan itu langsung terlintas di kepala. Jujur, Aku sedikit takut tapi juga penasaran apa yang akan Kak Malik katakan.

Terlalu takut untuk menatap mata hitam itu yang sedang menempatkan perhatian padaku, Aku hanya bisa menunduk sembari memperhatikan sepatu.

"Aku akan tetap mencintai nya," Kak Malik berkata dengan tatapannya yang menerawang jauh entah kemana, "perasaan itu bukan lah suatu kesalahan yang membuat kita tidak boleh melakukannya. Mencintai seseorang itu hal yang wajar jika dia adalah manusia yang memiliki hati. Meskipun dia punya kekasih, ya tidak mengapa, perasaan ini hak untuk kita. Hanya tinggal bagaimana kita akan bersikap tentang perasaan ini. Itu tidak masalah."

Aku tertegun mendengar jawaban Kak Malik yang seakan ia tahu permasalahan yang ku hadapi sekarang dan seakan ia menyuruhku untuk tetap terjatuh padanya. Apakah harus?

"Meskipun Kakak akan terluka karena itu?"

Dia belum menjawab, detik selanjutnya dia menoleh kan kepala. Kami saling menatap, Aku tak mengerti maksud tatapannya.

"Aku tidak masalah, karena cintaku padanya tulus lebih dari apapun."

Cepat Aku mengalihkan pandangan ke depan lagi, bisa bahaya jika Aku tenggelam di dalam mata hitam itu. "Beruntung sekali perempuan yang dicintai Kak Malik."

Dan itu bukan Aku.

Kak Malik  tak menjawab, dia juga memilih memandangi langit saja. Atmosfer di antara kami sedikit canggung.

"Oh iya, Kak Malik emang kuliah dimana?"

Aku mencoba mengalihkan situasi ini. Melihat Kak Malik yang diam saja membuat ku kehilangan sosok dirinya yang tidak pernah kehabisan topik bicaraan.

Tolong Jangan Jatuh Hati (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang