3. penilaian sang ayah

135 16 0
                                    

Waktu Nitran masih kecil, dia memiliki banyak kenangan yang indah. Nitran berpikir kenangan itu masih bisa terulangi lagi saat dia bukan anak-anak lagi.

Namun, nyatanya Nitran yang terlalu berharap. Dia tidak tahu apapun jika semuanya bisa berubah. Tidak semuanya akan tetap kekal abadi, Nitran mulai membenci kehidupannya. Dia selalu mempertanyakan pertanyaan yang sama, yang bahkan tidak memiliki sebuah jawaban.

Nitran merindukan senyuman dari ayahnya yang terukir elok. Segala kalimat-kalimat menenangkan yang diberikan oleh ayahnya, dan sebuah janji jika dia akan memberikan kebahagiaan untuk kehidupan Nitran. Lantas kenapa setelah Nitran bukan anak-anak lagi, dia justru diperlakukan dengan berbeda sekali.

Tidak ada lagi senyuman yang manis itu, tidak ada lagi kalimat-kalimat yang menenangkan. Dan tidak ada janji yang tidak seharusnya di ingkari. Nitran kehilangan segala-galanya. Dia berpikir setidaknya hal seperti itu masih bisa dirasakan, sekalipun tidak terlalu sering.

Ternyata Nitran berharap lebih pada hal yang sifatnya sementara. Dia tahu ayahnya seseorang yang dingin, dia tidak banyak bicara. Tapi, saat bersama Nitran. Ayahnya mengatakan banyak hal padanya, seakan-akan Nitran memang sudah seperlunya diberikan nasihat untuk masa depannya nanti.

Hanya saja itu punya masanya sendiri, masa untuk perhatiannya sudah habis. Nitran tidak mengerti akan hal semacam itu. Dia hanya mengerti, jika dia tidak diperbolehkan untuk berharap lagi.

"Ayah dapat pesan dari wali kelasmu, kau bolos lagi. Kalau kau memang enggak suka buat pergi ke sekolah. Kau tinggal bilang aja yang sebenarnya, jangan hanya berangkat ke sekolah untuk membuat masalah," ucap sang ayah yang setelahnya berlalu pergi.

Pria baya itu sekedar mengatakan kalimat sedemikian. Dia seperti tidak berniat untuk mencari tahu alasan di baliknya. Nitran mengepalkan tangannya dengan kuat, lagi-lagi dia dihakimi oleh keluarganya sendiri.

Hari ini dia memang membolos, tapi Nitran juga memiliki alasannya tersendiri. Saat hendak mengikuti pelajaran seperti biasanya, walaupun bermalas-malasan. Nitran mendadak pusing, mungkin akibat terlalu banyak minum. Nitran itu pecandu minuman beralkohol, dia masih di bawah umur. Akan tetapi, dia tidak pernah memperdulikannya. Dia melakukannya karena dia menyukainya, alih-alih untuk menenangkan dirinya sendiri saja.

Jika saja Nitran tidak merasa pusing, dia pasti akan mengikuti pembelajaran di kelasnya. Mau bagaimana lagi, segala sesuatu yang dilakukan Nitran. Bahkan jika itu mengenai kebaikan, semuanya tidak berarti apa-apa.

"Ayah bilang apa lagi?" Tanya Natran yang langsung merangkul pundak adiknya. Nitran juga tidak tahu kapan kakaknya itu datang, dia selalu saja mengejutkannya.

"Bukan urusan kakak."

Setelah mengatakannya, Nitran juga meninggalkan Natran. Dia tidak ingin membuat waktunya terbuang sia-sia hanya karena meladeni Natran. Kakaknya itu manusia berisik, entah karena dia peduli atau karena dia memang terlalu penasaran saja. Bagi Nitran sendiri, kakaknya tidak pernah memperdulikannya. Dia saja masih bersenang-senang, lagian itu wajar.

Natran berhak mendapatkan kebahagiaan dari usahanya sendiri. Dia juga mendapatkan dukungan dari sang ayah, yang berakhir membuatnya menjadi seorang sarjana yang dikenali banyak orang.

"Kalau ada apa-apa tuh cerita bukannya diam aja!" Sentak Natran yang tidak tahan melihat ekspresi sedih dari Nitran.

Sang adik langsung menoleh ke arahnya, dia juga tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang sedih. Dia memang lemah, dia tidak bisa menyembunyikan apapun di depan seseorang yang sudah sangat lama mengenalinya.

"Kau seharusnya cerita."

"Aku enggak butuh tempat bercerita, dari dulu aku memang udah kayak gini. Ayah juga bilang, kalau aku enggak boleh terlalu lemah," kata Nitran menghempaskan tangan kakaknya. Yang kemudian melangkah untuk pergi dari sana.

Hidup Memiliki Tujuan [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang