"Nyonya Laela menelpon, Tuan."
Gamma yang sedang menghadap televisi, menerima telepon yang dihulurkan oleh pelayanannya. Sepasang matanya tidak beralih dari televisi yang sedang menayangkan ulasan kematian Papanya. Dua jam lagi, pemakaman Lowkey Moerano akan dilaksanakan. Semua televisi, radio dan media lainnya sibuk memberitakan kembali kasus pembunuhan Moreano–bahkan lebih menghebohkan dari berita saat kematian di hari pertamanya. Karena kali ini disertai berbagai ulasan dan kemungkinan siapa pembunuh Moreano yang sebenarnya.
Vicky mengabarkan, kalau Jeff Hopkins kini ditempatkan di penjara isolasi, guna menghindarkannya dari serangan tahanan lain di Riverbend. Hal yang cukup menenangkan Gamma–karena yakin bisa mempertahankan Hopkins tetap hidup hingga penyelidikan tuntas dan menyeret mantan Kepala Polisi sekaligus mantan mertuanya itu ke pengadilan.
"Halo?"
"Aku mengganggumu, sayang?" Suara Bibi Laela di seberang telepon membuat Gamma memanyunkan bibir. Dia sudah hafal gaya bicara sepupu Papanya bila sudah memanggilnya dengan sebutan sayang. Wanita tua itu pasti akan menuntut sesuatu yang tak patut dipenuhinya.
"Aku sedang menonton televisi."
"Kami semua sudah siap berangkat ke pemakaman. Apa kami harus menyusul kamu?"
Gamma tidak menjawab, melainkan mematikan ponsel. Dia tidak mengijinkan satupun kerabat untuk datang ke rumah warisan nenek–yang kini menjadi miliknya. Dia tahu, Bibi Laela mengincar rumah ini sejak lama. Beberapa kali sejak Lowkey Moreano masih hidup, wanita itu mengajukan penawaran–namun tak ada satupun yang diindahkan Moreano. Maka saat undangan pemakaman disebar oleh Vicky pada kerabat–dia melarang memberitahukan di mana Gamma berada.
"Gamma, kerabat sudah menunggu di Mansion."
Suara Vicky terdengar di belakang kursi Gamma. Gamma bergeming. "Aku tidak akan datang ke pemakaman."
"Detektif Taylor berpendapat lain."
"Kau tahu kan bagaimana wanita-wanita cerewet itu akan mencecarku."
"Polisi sudah mengamankan area pemakaman dengan keamanan berlapis. Bahkan The Bones tidak akan bisa mencium bau parfum bibi Laela."
Gamma mendengus. "Bukan masalah The Bones! Justru aku harus berhadapan langsung dengan mereka dan menyeret Mala kembali ke sini!"
Vicky menggeser langkah hingga berada di hadapan Gamma. "Detektif Taylor sudah menempatkan beberapa profiler di lokasi pemakaman. Juga kamera tersembunyi dan sniper. Siapapun yang bergelagat mencurigakan akan segera diringkus. Mereka yakin, pembunuh Rayyes akan berada di sana. Ada dugaan mereka mengincarmu."
"Kau tahu, makin lama aku menjadi makin gila dengan urusan ini. Bukan tidak mungkin, Bibi Leela sendiri yang ingin aku mati."
Gamma bangkit dari kursinya dengan kesal. Dia sudah berpakaian serba hitam untuk acara pemakaman. Namun berita di televisi yang simpang siur sudah mengacaukan pikirannya, membuatnya tidak ingin menampakkan diri di hadapan banyak orang.
Entah kenapa, justru di saat seperti ini, dia sangat membutuhkan Mala. Mala sudah pasti bisa membuatnya lebih tenang–andai saja dia tidak terlibat dalam semua kekacauan ini.
***
Gamma sudah terbiasa dengan pengamanan ketat dan berlapis. Saat dia masih sekolah dan kuliah, dia tahu kalau para pengawal ayahnya berkeliaran di sekelilingnya. Membuatnya merasa tidak bebas berbuat apapun, namun merasa terlindungi.
Itu sebabnya, dia tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Karena sedikit saja dia mendekati seorang wanita, tak lama wanita itu tak bisa ditemuinya lagi. Papanya sangat steril dalam urusan wanita, dan Gamma tidak pernah tahu apa sebabnya.
Mungkin Bibi Laela tahu. Tapi saat ini, Gamma tidak ingin berinteraksi dengan siapapun.
Pemakaman baru saja usai, dengan air mata palsu para undangan. Gamma bisa melihat betapa Papanya selama ini sama sekali tidak mendapat simpati apalagi empati, baik dari kerabat maupun bawahannya. Semua tertawa-tawa kemudian di Mansion saat menikmati hidangan–seolah sedang berpesta.
"Sudah kuduga kau di sini, sayang."
Gamma mendengus. Suara Bibi Laela terdengar genit untuk seorang janda berusia enam puluh tahun. Dia berhasil menemukan Gamma yang berada di sayap kiri Mansion–dengan jendela menghadap ke kamar mendiang Moreano.
Gamma merasakan tepukan di punggung.
"Kau lelaki yang kuat. Aku yakin, masalah seperti ini tidak akan mengguncangmu."
Gamma membalik badan dan mendapati Bibi Laela sedang menatapnya. "Apa yang Bibi ketahui tentang Papa?"
"Lowkey? Dia lelaki yang menawan."
"Jangan bilang Bibi jatuh cinta pada Papa."
Bibi Laela tertawa, hingga terlihat deretan giginya yang masih lengkap. Sepertinya dia memakai gigi palsu. "Papamu lebih muda dariku, lagipula bukan seleraku. Aku lebih suka lelaki yang setia."
Gamma mengernyit kening. "Apa maksud Bibi?"
Bibi Laela menepis udara. "Semua orang tahu bagaimana Papamu, Sayang. Aku tidak sedang berusaha menghasut, tapi kamu bisa bertanya pada semua orang di dalam ruangan sana. Mereka menikmati hidangan laiknya berpesta. Tidak ada yang benar-benar sedih dengan kematian Papamu. Aku mohon maaf bila terpaksa mengusik kesedihanmu. Tapi, pembunuhan Lowkey ... ah, sungguh tragis."
Gamma melangkah mendekati Bibi Laela. "Maksud Bibi?"
"Ini tentang wanita, ya kan?"
Gamma mengendus aroma alkohol. BIbi Laela pasti sedang mabuk. Tapi, gaya bicaranya belum menunjukkan kalau dia sedang kehilangan kesadaran. Sorot matanya juga tajam.
"Pembunuhan Papa, karena wanita?"
Bibi Laela mengangguk. "Kau pikir, luka tusuk sebanyak itu pembunuhan biasa? Hanya orang yang punya dendam yang bisa melakukannya tanpa berhenti. Jus ... jus ... jus ... tusuk sana tusuk sini tanpa ampun. Dendam apalagi yang lebih dahsyat dari dendam karena wanita."
Gamma terdiam. Ingatannya tertuju pada Mala. Bahkan bila Mala jatuh ke pelukan lelaki lain, dia akan sangat sanggup melakukan hal itu pada lelaki lain tersebut. Gelap mata, tak memikirkan akibat apapun yang penting dendam terbalas.
"Apakah Jeff Hopkins ... dia dendam pada Papa, karena wanita?" tanya Gamma dengan alis berkerut. Dia menarik tangan Bibi Laela untuk duduk di sofa. Bibi Laela hanya menurut. Dia tahu, Gamma kali ini sangat membutuhkan informasi darinya. Sepertinya polisi tidak banyak membantu.
"Aku tidak tahu kalau Jeff Hopkins. Tapi, banyak lelaki yang sanggup melakukan hal itu pada Papamu–karena wanita."
"Sebutkan siapa saja."
Bibi Laela meletakkan kedua telapak tangannya di bahu Gamma. "Aku tahu, Jeff Hopkin sama bodohnya dengan para polisi yang menangani kasus Papamu. Detektif-mu itu pun, kerjaannya hanya makan saja sejak tadi–meski aku tahu dia mengamati kami satu per satu. Dengarkan, Bibi, sayang. Aku tahu, kau pasti menganggap aku wanita tua yang tidak tahu apa-apa. Tapi jangan lupa, wanita sepertiku punya mata dan telinga lebih tajam dari anjing bulldog. Aku tahu apa yang dilakukan Papamu, yang tidak pernah diketahui Mamamu."
"Apa?"
"Papamu bukan lelaki yang setia."
Gamma menelan ludah. Ini benar-benar di luar prediksinya, karena seingatnya–Papanya bersih dari rumor dengan wanita. Atau banyak hal yang tidak diketahuinya karena para pengawal menutupinya? Untuk sebuah keamanan berlapis seperti saat pemakaman, sudah pasti Papa sangat bisa melakukannya saat masih hidup. Apalagi untuk pengamanan dengan wanita lain.
"Kau tampak terkejut. Maafkan aku, seharusnya aku ..."
Bibi Laela bangkit dari duduknya dengan tergesa, namun Gamma menarik tangannya untuk duduk kembali. Dia tidak akan melewatkan secuilpun informasi dari bibir wanita yang terkenal suka menggosip.
"Aku tahu Bibi menginginkan rumah mendiang nenek."
Sepasang mata Bibi Laela berbinar sesaat, lalu pura-pura meredup. Wanita tua di hadapan Gamma saat ini tidak pandai berakting. Kemungkinan terbaiknya adalah, segala informasi dari bibirnya cukup akurat.
"Bibi hanya khawatir padamu. Bila setelah pemakaman ini, berdatangan orang-orang yang mengaku darah daging Papamu–menuntut warisan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Mantan Istri
Mystery / ThrillerBulan madu tidak selamanya manis, apalagi terpaksa diakhiri karena tewasnya si Papa tercinta. Mala dan Gamma sedang berbulan madu, ketika Papa Gamma dibunuh dengan keji. Semua bukti mengarah pada Ayah Mala-meski Ayah Mala menyangkal. Tapi Gamma tida...