Benih

8 1 2
                                    

Hari-hari berlalu, kedekatan mereka sebagai sahabat cilik, semakin terlihat, tak hanya itu, kedekatan orang tua mereka berdua pun mulai terlihat, terkadang di akhir weekend mereka pergi piknik bersama, Sarah, Kiya, dan Raka kedekatan mereka bak anak kembar tiga, dan diikuti gadis kecil, Tasya yang tentunya tak ingin ketinggalan dengan kakaknya.
“Eh,,, Rak!”
“Apalagi Ki?”
“Ini ni aku gak bisa narik pancingnya.”
“Aelah tinggal kamu puter itu, udah,,, yang penting jangan sampai kalah sama tarikan ikannya.”
“Ayo Kiya tangkap ikan.,,, tarikk...” seru Sarah menyemangati Kiya.
Ikan mulai muncul di permukaan air, Kita menguatkan tarikan sembari terus memutar senar, Sarah membantunya dengan menyiapkan tempat untuk ikan itu agar tak kembali jatuh ke air. Ayah Kiya dan Bapak Raka hanya mengawasi anak anak mereka dari jauh, sembari memancing juga.
“Wihhh,,, Kak Kiya ikan yang besar,” seru Tasya dengan semangat, matanya berbinar senang melihat ikan yang besar.
“Wuhuu, kerja bagus Ki, Ikannya gede.”
“Iya dong, Rak. Kiyara gitu lohh.”
“Ini ikan gurame, Ki.”
“Tau darimana kamu, Sar?”
“Dulu, aku sering beli ini bareng ibu. Farah juga suka banget sama ikan ini.” Kiya dan Raka terdiam sejenak, tak ingin membuat suasana sedih, Raka berceloteh, “Berarti ikan ini enak, ayo cepet kita bawa ke bunda, Ki.”
“Oh, iya ayo cepet, Sar. Aku mau beres beres dulu.”
“Oh Oke...” Sarah meninggalkan mereka, “Uh leganya, untung Sarah gak sedih ya.” “Iya bener, Rak, aku dah bener bener deg degan duluan. Takut Sarah tiba-tiba nangis, soalnya bunda udah ngasih tau aku, kalau misalnya Sarah udah mulai bahas bahas tentang ibunya, kita harus cepet tanggapi, dan bicarain yang lain.” “Iya bener, Ki. Ibu aku juga bilang gitu. Kasian si Sarah.”
Raka dan Kiya membereskan peralatan pancingnya, mereka mungkin baru berumur sepuluh tahun, tapi edukasi dari orang tua mereka sudah bagus, pemberian arahan yang tepat, dan cara didik mereka yang baik membuat anak berumur segini sudah bisa berperasaan dan peduli pada sesama. Anak anak yang hebat, cerdas secara akademik dan emosi. Orang tua mereka selalu mengajak mereka berdiskusi dengan keadaan yang ada, hingga mereka memiliki pikiran yang kritis dan peka.
Sarah menyerahkan ikan pada bunda. “Wah, Kak Sarah ikannya besar sekali, siapa yang tangkap?” “Kiya, bunda.” “Oh,, keren ya,,, emang hebat anak anak bunda.” Bunda Kiya memeluk Sarah hangat. “Kak Sarah mau dimasak apa ikan ini?” “Sarah mau asam manis, bunda. Tapi kalo Kiya juga mau asam manis juga, terserah Kiya aja, bunda.” “Kiya suka ikan ini digoreng Kak. Tapi ikan asam manis, kan awalnya digoreng, Kak. Kayaknya, Kiya juga bakal suka,” ujar bunda pada Sarah sembari mengelus kepalanya. “Oke bunda.”

---

Hari demi hari terlewati, banyak kenangan terukir, ayah Sarah kembali lagi setelah 3 bulan, pagi pagi sekali Sarah sudah bersiap, membantu bunda Kiya dengan cekatan, dan membereskan semua barangnya, hari ini Sarah akan menjemput ayahnya di bandara, senyum sudah terukir dari malam, bahagia menyelimuti hatinya, Sarah akan bertemu dengan cinta pertamanya, satu satunya lelaki yang ia harapkan, satu satunya keluarga yang ia punya.
Kiya dan Tasya juga antusias, mereka senang Sarah senang, akan tetapi mereka sedih juga, karena Sarah akan balik ke rumahnya, persahabatan dan kekeluargaan selama ini, mereka khawatirkan akan hilang, mereka tidak ingin mereka bertemu lagi, dan canggung lagi bak tak kenal. Orang tua Kiya mengetahui itu, mereka juga sedikit merasa berat Sarah harus kembali, akan tetapi, inilah kebahagiaan Sarah.
Setelah tiga bulan yang cukup lama ia berpisah dengan ayahnya, akhirnya akan bertemu kembali dengan ayahnya, tapi ia juga sedikit berat hati, harus berpisah dengan keluarga Kiya yang selama ini merawat dan mengasihinya seperti anak sendiri.
Sarah menunggu ayahnya di gerbang kedatangan internasional, pandangannya melesat dengan sigap dan teliti terhadap orang yang keluar dari gerbang tersebut, pandangan yang tajam dan tak terlewat sedikit pun.
“Ayah!!!!” seru Sarah melihat, seorang pria berdasi hitam keluar dari gerbang kedatangan, Sarah berlari menghampiri dan memeluknya dengan erat. “Ayah,, Sarah rindu..” “Uu, putriku sayang..” Ayah Kiya mengelus kepala putrinya hangat.
Keluarga Kiya senang melihat Sarah kembali bertemu ayahnya, mereka menghampiri mereka. “Set, makasih ya udah jagain Sarah selama ini.” Terimakasih Bima pada Setyo ayah Kiya. “Iya, Bim. Kita juga senang Sarah bersama kita, dia benar benar anak yang baik, Sarah sangat penurut dan suka membantu, kita merasa kehilangan dia kembali.” Jawab Setyo ayah Kiya dengan jujur. Ayah Sarah tersenyum bangga pada putrinya. “Makasih juga, bunda, Kak Kiya, Dek Tasya. Om berterima kasih ya..” “Om, nanti kalo Sarah pulang ke rumahnya, kita tetep di sekolah yang sama kan??” “Iya, Kak. Om memang berencana pindahin sekolah Sarah ke sekolah Kak Kiya dari dulu.” “Yee..” Kiya girang mendengarnya. “Om nanti kita boleh kan main ke rumah Kak Sarah?” tanya Tasya polos. “Oh, tentu kita bakalan sering ketemu kok, ga usah sedih ya..” “Sarah juga bakal sering main ke rumah Kiya, iyakan, yah?” “Iya bener banget,” jawab Ayah Sarah dengan sangat menyakinkan. Bunda Kiya senang, ternyata kedekatan Sarah dan Kiya sudah seperti saudara, bahkan tak ingin pisah. Para orang tua mereka memang sudah merencanakan untuk setiap weekend untuk jalan jalan bersama. Ayah Sarah membawakan banyak buah tangan tidak hanya untuk putrinya, akan tetapi untuk keluarga Kiya juga, “Ini ada kerdus hadiah dan oleh oleh buat kalian.” “Wah terimakasih Om Bima.” Seru Kiya dan Tasya bersamaan. Mereka pun saling berpamitan pulang.

---
Flashback off

“Kalo inget dulu itu, kadang kadang kangen, ya,” kata Kiya sambil melamun. “Bukan kadang-kadang kangen Kiya tapi emang beneran kangen, Aku kangen banget sama Tasya, Gimana kabar dia ya sekarang?” jawab Sarah dengan tatapan mendalam dan mata yang berkaca kaca. “Mungkin dia sekarang lagi persiapan skripsi...” Kiya tak melanjutkan perkataannya, Sarah langsung memeluk Kiya hangat, ia tau apa yang dirasakan sahabatnya, Kiya menangis di pelukan sahabatnya, mendengar tangisan Kiya, Sarah semakin berkaca kaca. Tes tes, air mata yang ia tahan selama ini akhirnya jatuh, dinding penahan air mata akhirnya hancur, Sarah menangis tersedu.
“Rindu, memanglah indah, tapi rindu untuk sesuatu yang tak kembali yang kenyataannya rindu yang tiada akhir. Ini cukup menyakitkan.” -Sarah
“Jika memang ternyata akhir, setidaknya izinkan untuk berpamitan.” – Kiya
Perpisahan yang menyakitkan, cerita masa lalu Kiya yang cukup kelam, dan kejamnya dunia memperlihatkan bagaimana perpisahan paling menyakitkan itu di hadapan Sarah, kejadian dimana Kiya kehilangan kedua orang tuanya, dan adik satu satunya yang sangat disayangi.
“Tapi, Ki, jangan jadikan itu sebagai kelemahan, jadikanlah itu kekuatan, dengan itu kamu harus lebih semangat lagi.” Sarah selalu mengatakan seperti itu dikala Kiya teringat tentang masa lalunya. Sarah selalu menguatkan Kiya, sebagaimana Kiya dulu menyemangatinya.
“Besok aku mau pergi ketemu ayah, mau ikut gak?” tanya Sarah pada Kiya menghibur. “Iya deh, mau ketemuan dimana sama ayah?”
“Kebetulan ayah ada kerjaan di deket pantai sini ayah ada survei sama meeting klien.”
“Kapan itu?
“Malem mungkin ayah baru kelar dari kerjaan.”
“Kita berangkat awalan yuk, sore di pantai itu seru.”
“Oke, btw aku udah ijinin ambil cuti buat kita.”
“Lah kenapa?”
“Gak ada si, cuman ayah nyaranin buat aku ajuin cuti kita berdua berhubung dalam masa tesis.”
“Oh ya?”
“Iya, kebetulan udah aku ajuin ke meneger umum, dan beliau setujuin.”
“Berarti kita harus sungguh-sungguh ini..”
“Bener si, mungkin ayah nyaranin ini, biar kita lebih fokus dan cepet selesai, gak ada celah dan alasan buat lama lamain tesis.”
“Ayah memang selalu begitu, jadi gak sabar ketemu ayah, Sar.”
“Iya, keinget dulu nungguin ketemu ayah tiga bulan kek ditinggal apa aja, gak kerasa ya kita udah besar, dan itu 15 tahun lalu.” Mereka saling bertemu dengan tatapan mata, dan tertawa. “Sarah Erika, 25 tahun,” ledek Kiya dengan senyuman poker. “Idih,, pokernya keluar juga..” “Iya dong..”
“Aku harus mulai nyicil tesis, tau tau nanti ayah tanya gak bisa jawab, kacau...”
“Ih bener juga, Sar. Aku harus udah ada pilihan judul ni.. Biar ayah aja pilihin yang kira kira bakalan berpotensi diterima bapak dosen.”

Lintas KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang