Kenyataan

4 1 3
                                    

Harapan memang selalu indah, akan tetapi kenyataan tak selalu begitu. Ekspektasi yang tak sejalan dengan realita, manis dan pait yang selalu menghampiri dan datang secara bergantian dan tak jarang bersamaan. Dunia yang menampar Kiya keras akan tetapi, harapan selalu menepuk menguatkan dan menghiburnya. Ayah dan Bunda yang telah meninggalkan Kiya akan tetapi harapan akan bangunnya Tasya selalu menguatkan dia untuk tak berhenti berharap dan putus asa.
Sepanjang hari, Kita habiskan hanya dengan menatap adiknya yang kini tengah terbaring lemah di ruang icu. Disisi lain, Sarah terus menerus menghubungi ayahnya yang hingga kini tak kunjung ada kabar.
Ayah : “Halo kak?”
Sarah : “Ayah dimana sekarang udah di perjalanan kah?”
Ayah : “Maaf ya, Kak. Ayah masih di bandara dan belum bisa pulang. Ayah baru dapet tiket tadi, jadi sekarang ayah lagi nunggu landing nanti jam 11. Kemungkinan ayah baru sampai besok pagi,Kak. Ayah minta maaf sekali ya Kak belum bisa ada disana. Kakak kuat Kakak hebat, ayah titip Kiya ke Kakak. Kakak harus bisa tetap tenang dan selalu dampingin dan kuatin Kiya. Jangan pernah buat dia merasa sendiri. Kakak masih ingetkan dulu gimana keluarga Kiya hibur kakak di kala itu. Kakak harus bisa begitu buat Kiya. Kita berhutang budi dengan mereka, Kak. Apapun yang terjadi, jangan tinggalin Kiya dan selalu ada di sisinya.”
Sarah : “Baik a... Yah...”
Sarah berbicara dengan terputus putus dan hanya bisa menangis, sebenarnya ia juga sangat terkejut dan merasa kehilangan. Bagaimana tidak kebaikan keluarga Kiya yang tak terhitung, dan kedekatan mereka yang seperti keluarga sendiri, sehingga membuatnya juga merasa sangat kehilangan. Sarah harus bisa menguatkan dirinya sendiri dan Kiya.
Kiya dan Sarah menunggu Tasya di depan ruang ICU, Raka dan Ibu datang membawakan makanan mereka, “Ini Kak, kalian harus makan pasti kalian belum makan daritadi sore. Ini Ibu udah masakin makanan khusus buat kalian berdua.” Kiya dan Sarah hanya bisa menangis di pelukan Ibu Raka.
“Ibu Raka, ayah belum datang, gimana nanti malem?”
“Udah, yang penting Kak Kiya dan Kak Sarah harus makan dulu, tenang Ibu disini buat nemenin kalian, Raka juga.”
“Iya, Raka juga nemenin kalian, gak usah takut.”
Sarah dan Kiya sedikit tenang dan mulai makan. Mereka hanya makan sedikit, dan sudah merasa kenyang. Keadaan yang telah membuat mereka kenyang dan merenggut nafsu makan mereka. Ibu Raka yang tau akan itu berusaha membuat mereka makan dengan lahap.
“Ayo dihabisin kalian pasti lapar kan.”
“Udah, Bu,” ucap Sarah sembari memegang perutnya .
“Yaudah sini Ibu suapin, ini buat Kak Sarah dan ini buat Kak Kiya.”
Mereka pun akhirnya menghabiskan makanan, walau air mata tak berhenti berlinanh dengan deras. Bagaimana tidak, mereka pasti teringat bagaimana para ibu mereka yang kini telah tiada. Kehangatan dan ketulusan Ibu Raka membuat mereka semakin rindu pada Ibu mereka.
Keesokan paginya, Ibu dan Raka pulang ke rumah, dan tersisa Kiya dan Sarah di rumah sakit. Ayah Sarah yang ditunggu tunggu akhirnya datang, pelukan hangat terlihat jelas antara Kiya, Sarah dan Ayahnya. Ayah Sarah mengelus lembut rambut Kiya, dan berkata “Sekarang, Om bisa Kiya anggap sebagai ayah, Kiya kalo butuh apa apa jangan pernah sungkan buat bilang ya.” Kiya menangis mendengar ucapan Ayah Sarah.
Tiba tiba bunyi alarm vital Tasya, tanda vitalnya yang awalnya membaik tiba tiba turun dan kondisi dari awalnya stabil menjadi kritis. Para suster dan dokter berkumpul, upaya upaya penyelamatan diberikan, namun naas Tasya tak tertolong. Dokter menyatakan kematiannya, dunia Kiya benar benar hancur sekarang, harapannya kini hancur, tak ada harapan lagi.  Mereka semua menangis melihat berapa paitnya kehidupan dan jahatnya kenyataan yang Kiya hadapi. Sekarang ia benar benar sendirian. Hanya Sarah dan Ayahnya yang berada bersamanya kini.

---


Hari hari berat berlalu, Kiya mulai bisa menerima keadaan, Kiya yang selama ini tinggal bersama Sarah dan ayahnya, kini memutuskan untuk kembali lagi ke rumahnya. Sarah awalnya melarangnya, akan terapi ia bepikir sejenak, mungkin ini sebagai tanda penerimaan dirinya terhadap keadaan. Kiya pun tinggal sendiri di rumahnya. Namun, tentunya tak jarang Sarah pergi menemaninya dan tidur bersamanya.
Luka yang kini sudah tak nampak, namun terkadang masih berdampak. Emosi yang labil, dan hati yang haus akan kasih sayang, kehilangan seseorang yang dicintai tepat di depan mata bukanlah luka yang sederhana.
Raka yang tau kini Kiya tinggal sendiri di rumahnya, sering menghampiri dan menemani Kiya di rumahnya bersama Sarah akan tetapi, Sarah terhambat kegiatan OSIS. Raka yang selalu menemani Kiya pulang ke rumahnya. Dan makan siang bersama Kiya, bahkan setiap hari Raka juga membawakan makanan untuk Kiya.
Suatu hari, di hari yang sejuk...
“Sar, kamu ada kegiatan kah hari ini?”
“Iya, Ki. Maaf ya aku gak bisa nemenin kamu pulang.”
“Udah gak usah tungguin  Sarah, lu pulang aja sama gua, Ki.”
Kiya mengangguk mendengar ajakan Raka. Mereka pun pulang bersama, akan tetapi, perjalanan pulang kali ini terasa berbeda. Kiya kini sudah tau semuanya, Kiya tau bahwa Raka menyimpan perasaan padanya, dan itu yang membuatnya merasa canggung.
Akan tetapi, Raka tetap berusaha mencairkan keadaan.
“Ki, kamu tau gak?”
“Apa?”
“Kepala kepala apa yang sering disentuh?”
“Hah?”
“Apa coba... Gua itung nih satu dua tiga...”
“Udah aku pas..”
“Kepala catur,” Raka tertawa tapi Kiya tidak tertawa, pikiranya masih mencerna.
“Ih, Raka hobinya lelucon bapak bapak.”
“Haha,” Raka tertawa begitu terbahak bahak setelah mendengar ocehan Kiya, dan tak sengaja memukul pundak Kiya.
“Eh maaf Ki.” Kiya tertawa dengan kelakuan Raka.
“Makanya, jangan receh receh jadi orang.”
Mereka tiba dan mereka terlentang di atas rerumputan di bawah pohon mangga yang rindang. “Tadi, gua piket kelas, sumpah cape bat.” Raka mendengar sembari menatap langit. “Ki, lu tau gak kenapa gua kek gini ke lu?” Seketika itu, Raka ingin mengungkapkan perasaan yang ia pendam selama ini. Raka ingin berbicara serius dengan Kiya, ketika Raka melihat wajah Kiya ternyata ia tertidur. “Dasar emang ni anak, di ajak ngomong serius malah tidur.” Raka menggantungkan tangannya di atas mata Kiya untuk menutupi matanya dari pancaran sinar matahari.
Semakin hari, act of service yang Raka lakukan semakin membuat hati Kiya luluh. Dan tanpa sadar ia pun jatuh hati. Mereka menjalani hari hari dengan penuh bahagia, seketika ini Raka benar benar membuat luka luka Kiya sembuh. Dulu, tiada hari tanpa air mata kini,, dipenuhi canda tawa.
Ujian akhir semester telah berakhir, sudah saatnya peringkat kelas ditempel, waktu yang benar benar mendebarkan. Para siswa heboh dengan peringkatnya masing masing. Kiya dan Raka yang baru saja lewat tak tau apapun.
“Apaan itu Ki?”
“Peringkat Ka..” Tangan Kiya menarik tangan Raka untuk bergegas mendekati mading. Seperti biasa nama Raka selalu pertama, tangan Kiya tak berhenti mencari namanya dari peringkat terbawah. Dan ketemu namanya ternyata masuk 10 besar.
“Raka... Aku 10 besar.” Kiya senang sekali, Kiya memeluk Raka. Raka terkejut, dan belum membalas pelukannya.
“Ka, thank you udah bantu gua selama ini, maaf selama belajar bareng kadang gua ngeselin.” Mendengar ungkapan Kiya, Raka membalas pelukannya dan menepuk punggung Kiya. “Its okay, gua bangga ama lu. Thanks udah mau berjuang dan jadi patner belajar gua.” Sarah tersenyum melihat kedua sahabatnya. Sarah senang melihat kedua sahabatnya bahagia. Namun sayangnya, ini tak berlangsung lama. Raka mendapat kabar ia harus bermigrasi ke Amerika dikarenakan tugas dan pekerjaan orang tuanya. Raka bingung bagaimana harus memberi tau Kiya. Hari keberangkatan telah ditentukan, dan Raka masih menyembunyikan fakta itu dari Kiya, ia tak ingin membuat senyum Kiya pudar dikarenakan kabar itu. Hingga hari keberangkatan tiba, Raka masih belum bisa memberi tau Kiya, tapi ia menitipkan sebuah surat pada Sarah untuk diberikan pada Kiya. Sarah sendiri pun tidak tau mengenai kepergian Raka.
“Ini, Sar. Aku nitip ini ya buat Kiya.”
“Idih tumben kenapa gak kasih aja sendiri?”
“Gpp, tapi minta tolong tolong kasih ini besok ya.”
“Oke,” Sarah mengacungkan jempolnya, tiba tiba Raka memeluk Sarah. “Sar, thanks udah mau jadi sahabat gua selama ini. Maafin gua.” Dan tiba tiba  Raka melepas pelukannya, dan berlari sambil menangis.
Sarah memandangi Raka, “Emang rada aneh ni bocah.”
Keesokannya Sarah memberikan surat yang Raka berikan pada Kiya. Kita membacanya dan tiba tiba bergegas pergi. Sarah terkejut dan ia mencoba membaca suratnya. “ “Kiya jika kita dipisahkan oleh keadaan anggaplah aku sebagai angin yang hanya berhembus lalu pergi, akan tetapi angin itu akan kembali.”
Kiya bersiap pergi ke rumah Raka, Sarah mengikuti Kiya. Setibanya di rumah Raka, mereka menemukan rumahnya sudah kosong dan tak berpenghuni di depannya terdapat sebuah kertas. “Rumah ini dijual” Kiya hanya bisa menangis, ia tak menyangka Raka pergi tanpa berpamitan.
“Sar, kemarin Raka sempet bilang ke aku. Ki gimana kalo aku seseorang pergi ninggalin kamu tanpa pamit? Dan dengan bodohnya aku jawab “Pertama namanya kepergian itu pasti sakit, Ka. Tapi mungkin aku lebih baik tak melihat kepergiannya di hadapanku. Karena itu cukup membuat trauma dalam hidupku. Tapi alangkah baiknya gua udah minta maaf dan mengucap terimakasih.” Raka bilang “Yaudah, maafin gua dan thank you buat selama ini.” Dan aku di situ masih gak paham apa yang dimaksud Raka.” Ungkap Kiya kepada Sarah setelah berhenti dari tangisannya. Sarah memeluk dan menepuk punggung Kiya, “Kan masih ada aku, Ki. Kamu gak sendirian, aku masih ada disini.”
Kiya melanjutkan sisa semester nya tanpa Raka. Akan tetapi, ia tak hilang semangat, ia tetap berjuang mempertahankan peringkatnya. Kiya selalu teringat dengan semua dukungan Raka, dan kini berjuang sendiri. Kiya yakin Raka akan kembali.

Lintas KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang