Sarah pun tinggal di rumah Kiya sementara waktu, memang mereka sudah mengenal semenjak ayah nya bekerja di proyek yang sama, akan tetapi belum terlalu dekat, bagaiman tidak Sarah dikenal sangat dekat dengan saudara kembarnya Farah. Sarah dihampiri kecanggungan yang hebat, bukan berarti orang tua bersahabat, tinggal bersama terdengar biasa.
Sarah menjadi sangat pemalu yang awalnya dia ekspresif, Bunda Kiya yang menyadari perbedaan pada diri Sarah, segera membujuk Kiya untuk mendekatinya, “Kak Kiya, coba hibur Sarah Kak. Kasian Sarah dia baru aja kehilangan ibu sama saudara yang paling disayang, coba Kakak bujuk Sarah buat jadi kakak buat Kak Kiya, kan Kak Kiya ingin punya Kakak. Coba sdh deketin Sarah,” tutur bunda lembut dan merangkul Kiya. “Oke bunda, tapi Kiya gak mau manggil Sarah pake Kakak, panggilan Kakak itu cuman buat diri Kakak sendiri, Kakak Kiya.” “Iya Kakak Kiya, yang penting Kak Kiya deketin dulu Sarah nya. Oke??” Kiya mengacungkan jempolnya tanda setuju.
“Oke tos dulu Kakak.” Kiya memeluk bunda nya kuat kuat “Bunda Jagan tinggalin Kiya ya,, Kakak gak mau jadi kayak Kak Sarah.” Mendengar perkataan putrinya, bunda sedikit terkejut dan tak sadar tetesan air mata menyapa wajah lembut Bunda. “Bunda, akan terus berusaha disamping Kakak, tapi inget Kak satu nasehat bunda, Dimanapun dan bagaimana pun keadaan Kak Kiya harus tetep jadi anak baik, itu baru Kakak Kiya nya bunda.”
Kiya menghampiri Sarah yang tengah termenung di balkon atas, “Sarah, udah jangan sedih lagi,, Sar anggep aja aku kayak Farah, saudara kamu, jadi gak usah malu malu disini, butuh apa apa jangan lupa bilang ke aku ya.”
Sarah bangun dari renungannya, kemudian memeluk Kiya erat erat dan menangis. Kiya hanya bisa menepuk nepuk pundak Sarah “ Cup cup Kiya.” Bunda yang melihat dari jauh, bangga dengan putrinya yang baik hati dan tulus.
Bukanlah perkataan yang menggerakkan hati seseorang, melainkan hanya hati nurani dan sebuah ketulusan.
Hari hari berlalu, Kiya yang senantiasa tulus membantu Sarah untuk sembuh dari luka lukanya. Sarah yang terus berusaha berdamai dengan keadaan. Semakin hari bertambah keakraban hingga pada titik seperti keluarga, Sarah kembali ceria, ia tak lagi merasa kesepian, ketulusan Kiya dan bunda meluluhkan hatinya.
Kiya dan Sarah menjadi sangat dekat, mereka berdua saling menyayangi, Sarah yang dulu memang hangat, dan penuh kasih sayang kembali menjadi dirinya sendiri, Tasya adik Kiya yang iri melihat Kiya yang begitu disayang oleh Sarah. “Kak Sarah, Tasya juga mau disayang seperti Kak Kiya.” Sarah segera memeluk Tasya yang ia anggap seperti adik sendiri. Kehangatan dan kelembutan serta ketulusan kembali menyelimuti hari hari Sarah. Benar benar seperti Habis terang terbitlah terang, usai hujan muncullah pelangi.****
“Kiya, kita ada PR apa hari ini?” tanya Sarah. “Emm, kayaknya gak ada deh.” “Kiya, tadi yang duduk di depan bangku kita tadi itu siapa? Soalnya mukanya gak asing. ” “Oh, itu dia Raka, tetangga kita Sar, rumahnya di ujung komplek sini.” “Pantes lah ya, mukanya gak asing, dia emang pernah kesini, bawa kur keing disuruh ibunya karena baru pindahan.”
Sarah menyimak setiap perkataan Kiya dengan baik, Sarah memang benar-benar pendengar yang baik. Dia selalu bangun sendiri, dan segera merapikan tempat tidurnya, membantu Bunda Kiya di dapur tanpa di perintah, sangat perhatian dan baik hati. Tak pernah terlewatkan waktu belajar malam persiapan untuk hari berikutnya, di sekolah walau dia baru saja pindah dari sekolah lamanya, ia beradaptasi dengan teman teman sekolah Kiya, sekolah Sarah yang baru.
Bunda Kiya juga sangat senang dengan kehadiran Sarah di rumahnya, sedikit meringankan bebannya, Bunda kini tak lagi menyuruh Kiya untuk belajar malam, Sarah sudah duluan mengajak Kiya belajar.
“Sar, hari ini kita main ke lapangan yuk.”
“Oh oke Kiya,” jawab Sarah dengan jadi tangan yang memberikan sinyal jempol.
Sore hari yang bersahabat, Kiya, Sarah, dan tak terluput Tasya pergi bersama menuju lapangan, Kiya dengan bola, Tasya dan Sarah dengan raket nya, “Wah, hari ini Kak Sarah harus bisa badminton ngalahin Dek Tasya, ututuuuu.” Tangan Sarah mencubit kecil pipi Tasya sebagai luapan kegemasan dan kasih sayang.
“Oke Kak Sar, Tasya juga gak mau kalah dari Kak Sarah.’
“Kalau gitu, Kak Kiya jadi wasit aja ya.”
“Good... “ jawab Sarah dan Tasya dengan acungan tangan yang khas, tanda percaya atau menggoda. “Siap, Sarah?”
“Siap.”
“Adek siap dek?” “Siap Kakak,” jawab Tasya dengan suarnya yang cempreng nan nyaring.
“Oke pertandingan dimulai...” Bunyi peluit yang ditiupkan menambah suasana menjadi pertandingan yang sungguhan.
“Tasya 1- 0.”
“Yah, gimana ni Kak Kiya, ternyata adek Tasya juga jago.” Tasya tertawa mendengarnya, Sarah senang dapat menyanjung Tasya.
“Udah ah, Kiya capek jadi wasit, Kiya mau main bola aja.”
“Ih,,, Kiya tunggu, adek ayo kita temenin Kak Kiya main.”
“Oke Kak Sarah.”
Kiya, Tasya, Sarah main bola bersama, setelah bermain selama kurang lebih 30 menit, lelah mulai terasa yang mengharuskan mereka untuk duduk duduk dan beristirahat. Mereka melihat Raka yang tengah duduk sendirian di kursi taman. Kiya segera menghampiri nya sembari tak terluput ia mengajak Sarah. “Adek tunggu situ dulu, Kakak sama Kak Sarah mau pergi sebentar, adek jangan pergi kemana-mana!” Tasya patuh dengan perintah kakaknya.
“Hai,” sapa Kiya dengan penuh senyuman. Raka yang tertunduk, pun kaget. “Oh hai,” jawab Raka dengan penuh canggung. “Hai Raka aku Sarah ini Kiya. Kita temen satu sekolah lo,” celetuk Sarah dengan percaya diri.
“Oh kalian yang duduk di belakang itu ya.”
“Iya bener.”
“Salam kenal Kiya. Salam kenal Sarah.”
“Oh ya rumah kamu yang di ujung komplek itu ya,” tanya Kjya penasaran
“Eh kok tau?”
“Rumahku di komplek juga,” ujar Kiya.
“Di komplek ini, anak cowoknya dikit ya, kasian Raka gak ada temen seumuran,” kata Sarah memberi opini.
“Iya, bener banget.” Senyum Raka mendengar ucapan Sarah.
“Yaudah, Rak. Main aja bareng kita, kita juga mainnya bola kkok. Iyakan, Sar?”
“Hah apa? Eh iya bener banget Rak. Main aja sama kita.”
“Oke, makasih loh kalian dah mau ajak aku main.”
Raka anak yang jujur, baik hati, nan rendah hati bertemu dengan mereka para orang orang tulus seperti Kiya dan Sarah yang suka membantu tanpa diminta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Kenangan
LosoweKisah para Penyintas waktu yang tengah berusaha berdamai dengan masa lalu. Berbagai kenangan yang melintas tak jarang menjadi penyakit maupun obat Begitulah masa lalu... Indah menjadi obat, menyakitkan menjadi penyakit. Trauma yang mendalam dan keta...