Pulih

8 1 1
                                    

Hujan yang mengguyur nampak tak reda, semakin lama semakin deras, semakin lama langit semakin menggelap dengan pekat, Kiya dihampiri dengan lamunan masa lalu.

“Kiya, tau gak kenapa gua suka hujan?” tanya Raka serentak pada Kiya. “Apa ya..?” Kiya menyeringai karena tak tahu jawabannya.

“Apa coba tebak?”

“Mungkin karena hujan itu sejuk kali.”

“Hujan itu indah Kiya, ia membasahi bumi yang gersang dengan guyuran airnya, seakan membasahi hati yang memanas akan kehidupan sehari-hari. Bau khas hujan yang tak tertandingi, bau hujan yang merileksasi hati dan pikiran. Seakan akan gua kembali tanpa beban.”

“Kalo gua, dalam hidup gua hujan seringkali menjadi peristiwa penting dalam hidup gua, gua lahir aja pas hujan.”

“Lu masih trauma kah sama hujan?”

“Gak kok, dulu tu habis kejadian itu gua selalu nyalahin hujan dan nangis senangis nangisnya kalo hujan dah turun, tapi semenjak lu ajak gua main hujan, trauma itu perlahan menghilang, bak terguyur bersih bersama air hujan.” Mendengar ucapan Kiya Raka hanya tersenyum, ia senang ia berhasil memulihkan Kiya dan menghilangkan trauma nya.

“Ka, dari situ gua mulai sadar, bukan salah hujan yang menyebabkan kejadian itu, tapi itu semua takdir, bahkan daun yang jatuh pun tak ingin jatuh, akan tetapi ia tak pernah menyalahkan angin karena ia menyadari dan meyakini itulah takdir.”

Kiya yang melamun, dan tanpa sadar seseorang berdiri di hadapannya sembari mengulurkan tangan kanannya dan tangan kirinya menggenggam payung, “Sarah?” sahut Kiya. “Aku dah nungguin kamu Kiya di rumah, kamu malah gak pulang pulang, tumben banget hujan tapi kamu gak main hujan?”

“Lagi gak pengen aja.”

“Yaudah pulang yuk.”

“Kok kamu bisa tau aku kesini Sar?”

“Kan tadi kamu cerita Kiya kejadian hari ini. Yah gak usah di tebak pun kamu bakal kesini. Makanya aku samperin gegara kamu gak pulang pulang.’

“Sarah emang super peka dan perhatian.”

“Kan kita bestie...” Mereka pulang menyusuri hujan, dibawah payung yang sama, perjalanan yang dipenuhi canda dan tawa.

Dari dalam rumah Raka menatap mereka dengan tatapan yang dalam. “Pertemuan yang benar benar singkat kini telah berakhir, saat nya kembali membaca buku.” Buku buku yang ia buka, tak kunjung ia baca, selama ini ia hanya memandangi Kiya yang tadi berteduh depan rumahnya. “Kiya kita ketemu kek gini, gua udah seneng kok. Maafin gua selama ini Ki. Yang pergi tampa pamit.” Tanpa disadari air mata kembali berlinang membasahi wajah tampan Raka yang berlarut larut dalam tatapan. Hingga tiba Sarah, air mata berlinang semakin deras, Raka mulai menangis sesenggukan, tapi dia berusaha membuat semuanya hening, hujan turun semakin deras, membuat suara tangis Raka tersamarkan dengan baik. “Sar, sahabat gua makasih udah jagain Kiya selama ini, selalu berusaha membuat Kiya bangkit dari luka luka yang gua sebabkan,” batin Raka. Dan kini Kiya dan Sarah telah pergi Raka menyeka linangan air mata, mulai menenangkan hatinya dan mengatur nafas, setelah semua itu akhirnya  Raka mulai kembali membaca buku buku tersebut.

Lintas KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang