Chapter 21.
One of our moments that will never be forgotten (3)....
Mas Ahn ♡
Mas, ada yang mau aku bilang tapi terlalu lama kalau nunggu mas pulang. Mas jangan kaget karena sebetulnya aku mau bilang ini dari waktu yang lama mungkin sejak pertengkaran kita sebelumnya dan puncaknya ada di waktu sekarang.
Kalau mas pikir ini mendadak dan perlu pertimbangan matang-matang itu sama sekali salah karena aku udah ada niatan sampai ketitik ini berkali-kali sampai aku udah nggak bisa nahan lagi untuk tetap tinggal di rumah ini. Masalah-masalah kita, persoalan rumah, urusan anak-anak dan hal lain yang sering membuat kita bertengkar sumbunya bukan pada faktor lain tapi karena kita sendiri yang memang udah nggak bisa sejalan.
Jadi mas ayo kita bercerai. Aku merasa udah nggak bisa lanjutin pernikahan ini lagi sama mas. Mulai saat ini kita bisa hidup masing-masing.
Memangnya siapa yang masih sanggup bekerja setelah mendapatkan pesan berisi ucapan perpisahan dan selamat tinggal yang menurut Jeongguk tak lebih dari sampah itu. Omong kosong. Keputusan sesaat dan didorong karena egonya saja yang besar. Maka dari itu tak butuh waktu lama untuk Jeongguk segera bangkit dari kursi kerjanya lalu berlari kalang kabut mengemudikan mobil hingga sekarang ia sampai di rumah. Dengan langkah kaki yang menekan dan kepalan tangan di kedua pinggang, emosi mendidih dalam suhu yang besar dipuncak kepalanya.
"Taehyung! Di mana kamu sekarang?! Taehyung!" teriak Jeongguk menggelegar keseisi rumah menakutkan.
Tapi suara sambutan itu bukannya dianggap ancaman untuk mundur melainkan mendekat bagi Taejung. Bayi itu membanting mainan yang ia pegang kemudian berlari dan mengikuti sumber suara ayahnya yang memanggil-manggil.
"Yaah! Ayah puyang yeay!" Taejung girang. Dia mendekat dan memeluk satu kaki ayahnya yang panjang.
"Buna di mana?" tanya Jeongguk merendahkan diri agar tinggi mereka sejajar.
"Buna ada." lugu dia mengangguk.
"Iya di mana? Di mana dia sekarang?!" Jeongguk yang emosi menggetar dua bahu kecil Taejung agak kuat hingga tubuh itu ikut bergerak seiring dengan rematan tangannya. Kedua mata ayahnya memerah, dan sakit dibahu membuat Taejung akhirnya tahu ayahnya tidak sedang dalam mode ayah yang biasa ia kenali.
Ini ayah yang berbeda.
"Ayah tidak butuh tangisanmu. Ayah tanya di mana dia sekarang Jungie?!" Taejung diam tapi bibir mencebik tetap melanjutkan tangisan. "Ah- kamu memang tidak pernah berguna. Membikin repot saja setiap saatnya."
Jeongguk lepaskan agak kasar bahu kecil itu hingga Taejung terdorong kebelakang namun tak sampai jatuh tetapi ledakan tangisan mulai nyaring terdengar bersamaan dengan langkah kaki yang ribut menaiki satu persatu anak tangga. Sudah kepalang emosi rasanya jadi tidak pandang bulu yang kena amarah anak atau orang lain. Bahkan bayi itu kini harus kena imbas karena permasalahan-permasalahan yang dirasakan juga dibuat oleh orang tuanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary the Jungie Family; How did This Family Begin?
Fiksi Penggemar"ᵀʰᵃⁿᵏ ʸᵒᵘ ᶠᵒʳ ᵇᵉⁱⁿᵍ ᵃ ᶜʰᵉʳⁱˢʰᵉᵈ ᶜʰᵃᵖᵗᵉʳ ⁱⁿ ᵐʸ ʲᵒᵘʳⁿᵉʸ, ᵃⁿᵈ ᵗʰᵃⁿᵏ ʸᵒᵘ ᶠᵒʳ ᵍʳᵃᶜⁱᵒᵘˢˡʸ ⁱⁿᶜˡᵘᵈⁱⁿᵍ ᵐᵉ ⁱⁿ ᵗʰᵉ ᵇᵉᵃᵘᵗⁱᶠᵘˡ ˢᵗᵒʳʸ ᵒᶠ ʸᵒᵘʳˢ." *** 19 tahun usianya kala itu saat desakan keluarga dan keadaan mengharuskannya untuk pergi dari rumah dan mempertang...