Senja di Kaimana

120 4 3
                                    

Langit Kaimana sedang bermandi cahaya jingga, eksotis, serupa perawan yang menawarkan secawan cinta. 

Warna keemasan bentala yang bersatu di ujung cakrawala, mencumbu permukaan laut yang tenang berwarna serupa. Senja merona dan kecemasan yang lebur dalam degup tak beraturan di dadaku.

Kaimana? Entahlah. Aku hanya yakin pulau ini masih masuk dalam gugusan pulau-pulau kecil yang tersebar di laut Kaimana, pada jarak mil yang entah.

Aku pernah mencintai, tetapi tidak sedalam ini. Aku pernah mengagumi perempuan karena kecantikan rupa, mereka yang bersikap manja demi menarik simpati dan harta.

Siapa yang tidak tunduk dan ingin menjadikanku kekasih? Aku, Heins Arashi. Sulung, 28 tahun, blasteran Indo-Jepang, pewaris perusahaan migas, di mana Papa adalah partner pemegang saham terbesar. Perusahan yang telah melakukan ekspansi ke beberapa negara. 

Namun, duniaku berubah setelah bertemu Azalea, perempuan biasa yang sederhana. Perempuan yang tidak tertarik harta dan rupa. Kami terasing karena kapal yang membawa misi survei lapangan dihantam gelobang dan kami berdua terdampar di negeri antah-berantah. Entah seperti apa nasib anggota tim yang lain.

Apa yang mau kupamerkan jika fisikku telah berubah, didera kerasnya kehidupan di pulau terpencil, tersesat, dan hanya berdua dengan gadis itu? Apa yang bisa kupakai untuk merayunya, jika di tempat asing ini, tidak ada yang kupunya selain selembar baju?

Lalu, aku juga harus menekan ego sebagai laki-laki, sebab hidupku bergantung di tangannya, gadis mungil yang pandai bersahabat dengan kerasnya kehidupan alam liar.

Lalu aku jatuh cinta, menyerahkan seluruh hatiku pada Azalea yang sederhana, meski berkali-kali ia menolaknya. Melupakan cincin yang Elara sematkan sebagai tanda pertunangan di jariku, tiga bulan lalu. 

Waktu berbilang bulan, tetapi tidak ada tanda-tanda tim penyelamat akan datang. Sementara, aku takut menua di pulau terpencil ini hanya berdua dengan perempuan survival pemberani itu dan masih berstatus bujangan. 

Betapa aku khawatir kehilangannya dan ditinggal sendirian.

Sudah dua hari, Azalea demam tinggi. Sesuatu yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Kerasnya kehidupan alam liar, mau tidak mau menumbangkan mental, nyali, dan tubuh kami untuk tetap bertahan.

Terserang malariakah ia? Penyakit yang jamak terjadi di sini. Kugelengkan kepala, menepis bayangan buruk yang ada.

Azalea duduk bersender pada batu, beralas pasir putih yang kering dan hangat di bibir pantai, sedikit menjauh dariku.

“Kita bukan mahram, Abang,” ucapnya acapkali kami berinteraksi dalam jarak dekat, meski dingin angin laut beraroma garam mencumbui kulit kami. Membuatku beringsut menjauh, meski gigil menusuk tulang.

Barak yang kami buat seadanya dan sedikit menjauhi jilatan ombak saat pasang, tidak cukup melindungi tubuh kami dari embusan angin yang kadang menampar begitu keras, pada malam-malam yang panjang, hampir setiap hari.

“Kita nikah saja, Le.”

Azalea tidak menjawab, ia hanya menatapku dengan kening berkerut, lalu senyumnya terukir seiring tubuhnya yang makin menggigil. Aku ingin memeluknya, sungguh. Mencoba menolongnya dengan teknik skin to skin yang ditengarai membantu menurunkan demam. Hal yang membuatku nyaris putus asa menahan diri untuk tidak mendekap tubuhnya yang sakit.

Tidak ada ketakutan sepanjang hidup yang melebihi ketakutanku kali ini. Aku tidak ingin ditinggal sendiri di pulau terpencil begini.

Andai saja ini di kota, ketika uang dan kuasa bisa mengendalikan segalanya, akan kubawa Azalea ke rumah sakit dengan dokter terbaik untuk meringankan deritanya.

Akad Tanpa WaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang