Yang Tertunda, Yang Menegangkan

111 7 3
                                    

Malam mulai hening, percakapan yang tadi masih lamat terdengar dari dapur, sudah menghilang sepenuhnya. Tinggal aku yang menikmati debaran dada sendiri yang semakin riuh.

Aku berbaring pelan-pelan agar tidak membuat Azalea terjaga. Menatap wajah perempuan itu sepuasnya. Cantik dan polos. Aku berusaha mati-matian mengendalikan diri, untuk yang ke tiga kali.
Pindah posisi telentang, memunggungi, dan balik telentang lagi tetao membuatku gelisah. Suasana kamar yang disulap menjadi ruangan penuh renda dan bunga-bunga, tidak serta-merta membuatku terlelap. Kamar luar biasa gerah, menurutku.

Meski senyatanya desa ini cukup sejuk tanpa bantuan pendingin ruangan.

“Le,” panggilku pelan. Ia diam dan lelap dengan dengkuran halusnya. Memulainya sendiri, tentu saja aku belum berani. Sebab, meski dua bulan lebih hidup bersama, kami tidak benar-benar dekat dalam arti yang sebenarnya. Ia membangun tembok tebal dengan cara luar biasa.

Jam tiga pagi, layar ponsel berpendar dalam keremangan. Kantukku mulai datang, tetapi betis dan paha yang panas membuatku terganggu.

Seharian sampai malam dipajang, meski bahagia, tetap saja melelahkan. Tidak terbayang bagaimana orang-orang yang rewang dari pagi sampai malam, lima hari tanpa henti dan tidak dibayar.

Tiba-tiba, aku mulai mencintai kampung pelosok ini. Kehangatan yang sudah pudar warnanya di kota-kota besar.

Aku menggeliat demi mengusir penat, meregangkan badan serentang yang kubisa.

Tiba-tiba, dari belakang paha, betis, dan menjalar ke pinggang seperti ada setrum yang menjalar, menimbulkan nyeri luar biasa.

Kram!

Kucoba mengatur napas, tetapi rasa sakit itu sangat menyiksa. Suaraku serupa 'ah uh' dan mulut tidak kuat untuk tidak mengaduh.
“Le?” Aku merintih. Sementara napas mulai tercekik.

“Lea!” Kucoba menggapai dan mengguncang lengannya.

Ia bangun, mengerjap, dan terkejut menyaksikan tubuhku yang miring ke arahnya dalam posisi setengah kayang. Melengkung ke belakang. Mirip serangan epilepsi. Menyedihkan.

“Abang kenapa?” Ia panik.

“Kra-aam. Saa-kit baa-nget.” Suaraku tercekat. Sementara, tegang otot di sekitar pinggang sungguh membuatku kewalahan. Badanku mulai panas dan keringatan menahan sakit. Terjadi lagi. Di tempat gym pernah mendapat serangan seperti ini dua kali.

“Sebelah mana? Di mana?” Azalea bertanya cemas.

Ia bangkit dan mencari entah apa di dekat meja rias. Setelah itu kembali dan mulai memberi pertolongan, mengoleskan minyak gosok ke kaki dan paha. Membantuku duduk, meluruskan kaki, dan mendorong badanku untuk bungkuk, mencium lutut.

Aku mengaduh.

“Sakit, Le.”

Beberapa saat berada dalam posisi itu, rasa tegang yang menyakitkan itu mulai reda, tetapi rasa pegal dan nyeri masih sangat terasa.

“Enakan?”

“Lumayan.”

Ia keluar untuk dan lama tidak kembali, membuatku memijit sendiri otot paha dan pinggang yang nyeri.

Ia kembali membawa segelas air putih dan menyodorkannya padaku.

“Bentar lagi Mbah Run datang.”

“Siapa?”

“Tukang pijit.”

“Kamu panggil tukang pijit jam segini?” Aku kaget. Tega-teganya ia membangunkan orang hanya karena aku kram.

Akad Tanpa WaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang