Terkadang, yang membuat terasa panas bukan hanya api atau terik matahari.
Teringat peristiwa dan awal pertemuan yang sangat tidak mengesankan antara Azalea dengan ibu sambungnya, membuatku membenarkan perkataan bapaknya.
Azalea jangan terlalu berlama-lama di rumah ini.
Maksud Bulik Sulis mungkin benar, hanya caranya saja yang kurang pas. Atau ia sengaja menunjukan teritori sebagai ibu pada Azalea? Entah.
“Dia gadis desa sebelah. Sifatnya memang agak keras.” Pak Sasmito melanjutkan ceritanya.
Gadis? Menilik wajahnya, seharusnya paling tidak ia sudah memiliki anak seusia SMP. Namun, aku memilih diam, tidak tertarik mencampuri urusan rumah tangga orang lain.
“Lea pasti terkejut dan kecewa.” Pak Sasmito masih bermonolog, menyesali hal yang mungkin buru-buru ia lakukan.
“Sejak ibunya Lea meninggal lima belas tahun lalu, aku berusaha menahan diri agar tidak menyakiti anakku. Mendidik dan membesarkan dia sampai jadi orang dan menikah, baru setelahnya memikiran diri sendiri, hanya agar tidak sepi.”
Aku semakin diam terpaku. Tidak banyak laki-laki sekuat ini, yang memilih setia dan fokus mengurus anaknya dan menjalani hidup sendirian tanpa pasangan.
“Lea ga punya saudara?” Gatal juga akhirnya mulutku untuk bertanya.
“Tunggal. Ibunya pengidap asma, terlalu beresiko. Hamil dan melahirkan Lea saja harus bolak-balik dirawat di rumah sakit. Tapi tekadnya kuat. Azalea lahir sebulan sebelum waktunya, makanya badannya susah besar.”
“Kecil tapi kuat, Pak.”
“Iya. Lahirnya cuma satu kilo delapan ons, tapi tangisnya kencang sekali.”
Aku kembali diam, mendengarnya berkisah, mengenang masa-masa manis bersama putri dan mendiang istrinya.
Memang seperti itu, orang-orang yang dicintai bisa saja pergi, tetapi rindu dan kenangan akan abadi.
“Tolong bantu beri pengertian Lea, Ras.”
“Lea sudah dewasa, Pak. Dia pasti bisa mengerti.”
Malam kian larut, pendar cahaya bulan mendekati purnama menambah syahdu suasana. Desa kelahiran Azalea tertidur di peluk malam yang tenang, meninggalkan siluet tebing-tebing batu kapur yang terkikis perlahan oleh penambangan.
**
Masih pagi sekali, tetapi suara unggas sudah riuh membangunkanku dari mimpi.
Aku beranjak keluar kamar, menemukan Azalea sedang duduk di ruang tamu sambil menekukkan kaki. Ia asyik dengan ponselnya.
“HP-mu selamat, Le?”
Ia menoleh dan mengacungkan benda pipih itu. Sebab diberitahu desa yang akan kami tuju untuk konsultasi publik tidak ada sinyal dan perjalanan melewati air, aku putuskan meninggalkan ponsel di kamar hotel.
“Dikirim ke rumah,” jawabnya.
Hal yang sama barangkali terjadi dengan barang-barangku yang tertinggal di hotel waktu itu.
“Ada kabar apa?”
“Kabar inalillahi, apalagi? Kan kita sudah mati, Abang,” ujarnya sambil terkekeh. Azalea sudah mencair. Tidak tampak kekesalan akibat peristiwa malam tadi.
“Bapak ke mana?”
“Masjid.”
“Rajin amat?”
“Bapak memang marbot masjid, ngajarin ngaji bocah-bocah juga sehabis Maghrib.”
Aku mengempaskan pantat di sebelahnya. Membuat gadis itu sedikit bergeser menjauh. Aku paham sekarang, darimana ia mendapatkan didikan agama selain ambisi dan kekuatan yang diwariskan almarhum ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akad Tanpa Wali
General FictionJuara 2 KWC 1 Terdampar di pulau terpencil berdua, lalu nikah nggak.ada walinya, emang bisa? Kita menikah saja, Lea." Takut ditinggal teman satu-satunya yang sedang demam, membuat Heins Arashi melontarkan ide gila. Usulan yang Aras lontarkan agar i...