Laki-laki memang menyukai tantangan dan petualangan. Begitu, bukan?Laju boat bermesin tempel semakin kencang, mengibarkan ujung jilbab Azalea yang duduk tepat di depanku, meski punggungnya tertutup carrier yang ia kenakan. Seolah-olah di dalam tas ransel itu ada benda keramat yang ia jaga dengan seluruh jiwa raga.
Sekali-kali tangan kurus itu terjulur menyentuh air, kepalanya berkali-kali mendongak ke langit, seakan sedang berdialog dengan sesuatu tak kasat mata di atas sana.
Antar distrik di Kaimana, sebagian besar hanya bisa dikunjungi lewat jalan laut, tidak ada pilihan karena hanya air yang terbentang luas sebagai akses menuju dan dari satu wilayah. Beberapa distrik dibentengi tebing dan bukit yang tinggi sehingga jalan satu-satunya adalah jalur laut.
Ucapan Pak Antonius tentang ombak tak urung sedikit menggangguku. Jika ada helipad, sebenarnya akan lebih safety jika kami menggunakan helikopter untuk mencapai tempat tujuan. Sayang, Kepala Distrik menginformasikan bahwa tidak ada lapangan yang cukup luas untuk pendaratan.
Perahu sedikit oleng saat menabrak arus, membuat posisi duduk gadis itu merosot dan bergeser ke arahku. Punggungku yang tertahan dinding long boat membuatku dalam posisi aman untuk menahan tubuh Azalea.
“Maaf, Bang!” Sigap ia meraih bibir perahu dan beringsut menjauh. “Merosot turun ke orang ganteng, nih.”
Giliran aku yang terbahak, ucapannya sedikit mencairkan ketegangan yang memenuhi dada yang coba kusembunyikan.
Dua jam mengapung dan terpantul-pantul dipermainkan air yang bergelombang, akhirnya long boat mengurang kecepatan saat melihat tempat tujuan sudah ada di depan mata.
Beberapa orang melambai dari sisi dermaga sederhana dari kayu yang sudah usang digerus ombak dan gelombang. Beberapa bangunan rumah kayu di atas air dan hanya mengandalkan tonggak yang menancap di dasar laut berdiri kokoh tanpa takut roboh.
Dua jenis perahu yang sama sudah terlebih dahulu sandar. Kurasa mereka para petinggi daerah yang juga diundang.
Sambutan masyarakat ramah, khas orang-orang timur ketika menerima kunjungan dari kota.
**
Balai desa sederhana yang dipakai untuk acara, telah dipadati pejabat dan warga.
Acara berjalan lancar. Setelah beberapa sambutan, presentasi, juga mendengar masukan dan pertanyaan dari warga yang diwakili oleh beberapa tokoh, menjelang siang acara selesai.
Berkali-kali aku melirik Azalea yang sibuk menulis di laptopnya. Ia memang ditugasi menjadi notulen untuk membuat laporan kantornya.
Entah. Gadis biasa yang bersikap biasa pula padaku itu justru memiliki daya tarik tersendiri. Ia mampu mengukur kemampuan dan pandai menempatkan diri.
Setiap hari bergaul dengan perempuan cantik, wangi, dan berdandan full, terkadang dengan pakaian seronok yang menggoda karena tuntutan pekerjaan, tidak lantas membuatku ternganga apalagi mudah tertarik. Walaupun mereka sengaja menggoda.
Benar. Perempuan memiliki pesonanya sendiri-sendiri. Azalea salah satunya.
Sementara, Bang Aiman kulihat membawa setumpuk kertas kuisioner yang akan dibagikan kepada warga. Membuatku memiliki keleluasaan memandang Azalea yang asyik dengan dunianya dari tempat dudukku.
Apakah aku tertarik pada gadis itu? Tidak. Ia terlalu biasa saja secara fisik menurut standar dan penilaianku.
**
Hari beranjak sore, tetapi Bang Aiman belum tampak batang hidungnya. Entah ke mana pergi ia pergi.Pak Antonius sudah gelisah, mondar-mandir dan berkali-kali mengatakan padaku bahwa kami tidak boleh terlalu sore kembali ke Kaimana. Kota tua yang sudah ada sejak Perang Dunia II.
Dua jam kemudian, yang kami tunggu baru kembali, ketika matahari sudah mulai condong ke arah barat.
“Ngobrol sebentar sama warga sambil bagiin kuisioner,” ujarnya.
Kami bergegas setelah berpamitan, meski para tetua mengingatkan untuk menginap saja. Kami menolak sebab esok hari masih ada agenda, menghadap pejabat setempat dan bertolak ke Jakarta sore harinya.
Lambaian tangan orang-orang arif itu semakin mengecil, ketika perahu yang kami tumpangi menjauh dari dermaga.
Berbeda dari saat berangkat, beberapa saat setelahnya, perjalanan pulang ditemani rintik hujan dan pusaran air yang kuat. Membuat long boat yang dikendalikan Pak Antonius bergoyang lebih keras.
Pulang terlalu sore ke Kaimana sangat beresiko, sebab air laut mulai surut, sehingga air dari muara sungai akan turun dan arusnya menuju muara laut.
Sementara konon kata para tetua tadi, laut Kaimana ini terkenal dengan pertemuan tiga arus laut yang mampu menciptakan ombak setinggi empat sampai lima meter. Duh!
Namun, kami tetap memutuskan untuk kembali karena baru jam dua lebih sedikit. Pak Antonius bilang belum terlalu sore.
Long boat mulai masuk ke laut lepas. Aku menguatkan tekad, satu setengah jam lagi kami akan tiba di Kaimana.
Hujan turun deras tiba-tiba. Prediksi manusia bahwa hari ini hanya mendung menaungi Kaimana, meleset dari perkiraan. Ombak mengganas. Barangkali pertemuan tiga arus datang lebih cepat dari jadwal biasanya. Mesin tempel yang menjadi motor utama penggerak perahu, tidak kuasa melawan arus dan terseret semakin jauh ke laut lepas. Kemudi yang dikendalikan Pak Antonius hanya berusaha agar gelombang datang dari depan.
Kami panik, aku terutama. Terbiasa hidup nyaman dengan segala fasilitas, sangat tidak siap dihadapkan dengan resiko sedemikian rupa.
Tiba-tiba semua ingat Tuhan. Berdoa dengan suara lantang, mencoba mengalahkan riuh gelombang dan suara air hujan, berharap doa masing-masing lisan menembus langit dan dikabulkan.
Keadaan-keadaan genting seperti ini membuat manusia ingat mati, meski sebenarnya kematian bisa datang kapan saja, di mana saja, dan dengan cara apa saja.
Tiba-tiba, gelombang setinggi empat meter datang dari arah samping, menghantam telak lambung long boat yang kecil, rapuh, dan tidak berdaya.
Kami terpental saat perahu kecil itu terbalik.
Tidak pernah terpikir sama sekali kalau aku akan mati dengan cara seperti ini. Tenggelam di kedalaman laut adalah bentuk kematian yang mengerikan.
Aku megap-megap dan meminum banyak air. Entah sudah berapa liter yang masuk. Sementara pusaran air semakin menggila. Kalau paru-paruku terendam, alamat aku akan kesulitan bernapas dan mati perlahan. Maka, kucoba untuk mengikuti saja ke mana ombak membawa tubuhku. Pasrah.
Masih terapung-apung mengikuti dansa ombak dengan life jacket, kucoba edarkan mata dalam jarak pandang yang buram, tersapu hujan dan gelombang yang timbul tenggelam.
Sebuah tangan menggapai-gapai terlihat tidak jauh dariku. Sekuat tenaga kukayuh tangan mendekat agar bisa meraihnya. Hobi berenang untuk menjaga kebugaran sedikit banyak membantuku bertahan.
“Jangan panik dan terus mengapung, tubuhmu tidak akan tenggelam.” Pesan instrukrur senam itu kembali bergaung di kepala.
Kuraih tangan yang berontak itu. Azalea! Bisa kukenali sebab jilbab lilit awut-awutan yang masih bertengger di kepalanya.
Ia masih saja berontak dan panik, berusaha melepaskan tanganku.
Kuraih ia dan merangulnya.
“Jangan paniik! Tenang, Lea! Tenaang!! Kamu bakal mengapung kalau nggak panik!” Aku berteriak sekuat tenaga, meningkahi gemuruh yang menelan suara teriakan sekencang apapun.
Gadis itu kemudian mengurangi gerakannya yang tak tentu arah.
Azalea lalu meraih dan memegang pelampungku erat, membuat kami menyerahkan nasib pada life jacket dan carrier Azalea yang tetap mengapung, meski sesekali kami ditelan gelombang lalu muncul lagi ke permukaan. Semoga dengan perantara beda ini, kami diselamatkan yang menciptakan gelombang.
Mataku pedih, dada rasanya perih seperti terbakar, dan perut penuh seperti mau meledak. Sejurus kemudian kepala berdenging disertai degup jantung yang terasa melambat. Aku kesulitan bernapas.
Apakah ajal sudah dekat?
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Akad Tanpa Wali
General FictionJuara 2 KWC 1 Terdampar di pulau terpencil berdua, lalu nikah nggak.ada walinya, emang bisa? Kita menikah saja, Lea." Takut ditinggal teman satu-satunya yang sedang demam, membuat Heins Arashi melontarkan ide gila. Usulan yang Aras lontarkan agar i...