Harapan adalah kekuatan seseorang untuk terus bertahan.
Kami diam, menatap lurus pada pendar cahaya di depan yang timbul tenggelam mengikuti irama gelombang.
"Konstan atau berkedip, Bang?"
"Hah?"
"Merah bukan?"
"Maksudnya?"
"Kapal atau mercusuar?"
Pahamlah aku kini ke mana arah pertanyaan Azalea. Ia memastikan apakah kami akan mendekati cahaya itu atau justru harus menghindarinya.
Mercusuar bisa jadi dibangun di atas pulau, tetapi bisa juga terapung di antara karang yang berbahaya.
Kami mengayuh sauh perlahan, sambil mata nyaris tak berkedip memperhatikan pendar pelita yang bisa jadi adalah sebuah pertolongan.
Cukup lama hingga pelita itu menjadi lebih jelas. Temaram cahayanya berasal dari lambung sebuah kapal kecil yang terapung-apung di tengah laut lepas.
"Nelayan?" Giliran aku bertanya memastikan.
"Atau perompak?"
Jawaban Azalea membuatku bergidik. Mungkin saja. Di laut lepas seperti ini, apapun bisa terjadi.
"Jadi, kita mendekat ga?" tanyanya serius.
Aku berpikir sejenak dan menghentikan kayuhan.
"Mendekat saja," putusku sejurus kemudian. "Kepalang tanggung. Pun nanti dijadikan sandera pakai tebusan, Papa ga akan mungkin tinggal diam. Uang bisa dicari, tapi nyawa?"
"Gimana kalau kita dibunuh?"
"Le!"
Ia tertawa. Kekhawatiran perempuan terkadang berlebihan, meski ada benarnya.
"Bismillah, ya, Bang." Ia mengatakan itu sambil kembali mengayuh, meningkahi irama setiap bilik jantungku yang berpacu riuh. Jangan sampai keputusan ini salah.
Kuimbangi sauhnya dengan gerakan bergantian di sisi sebelah kiri. Kami maju, meski lambat sekali.Kemudian setelah mendayung sekian lama hingga napas serasa berhenti, kapal itu semakin jelas terlihat.
Ada tulisan nama kapal pada lambung yang dicat biru cerah. Cahaya yang terpantul membuatku jelas melihat.
Beberapa orang laki-laki bertopi sebo tampak hilir mudik di atas geladak, menaburkan sesuatu ke tengah laut.
Umpan! Aku yakin itu.
"Kapal nelayan!" ucapku pasti, setengah berteriak. Sementara, Azalea mengiakan.
Dengan sisa tenaga yang ada, aku dan Azalea bahu-membahu mendayung agar lebih dekat dengan kapal, sehingga suara kami bisa terdengar.
"Le, senter?"
Ia menepuk jidatnya, melupakan hal penting untuk meminta tolong dalam situasi genting seperti ini.
Senter dengan panel solar cell itu adalah senjata berharga yang Azalea miliki selain pisau. Senter ramah lingkungan yang bisa hidup dengan menyerap daya dari cahaya matahari, sehingga benda ajaib itu tahan berbulan-bulan menemani kami dalam keterasingan. Satu kata untuk perempuan ini, cerdas dan penuh perhitungan.
Ia merogoh tasnya, memgambil benda dengan cahaya LED dengan jangkauan sinar jauh itu.
Ia sorotkan senter tepat lurus ke depan sambil memainkan tombol saklar hidup mati.
Kayuhan terhenti. Namun sepertinya, orang-orang di atas kapal itu tidak menyadari keberadaan kami.
"Kayuh lagi, Le." Aku kembali bersemangat, mengayuh sekuat tenaga, diimbangi Azalea di sayap kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akad Tanpa Wali
General FictionJuara 2 KWC 1 Terdampar di pulau terpencil berdua, lalu nikah nggak.ada walinya, emang bisa? Kita menikah saja, Lea." Takut ditinggal teman satu-satunya yang sedang demam, membuat Heins Arashi melontarkan ide gila. Usulan yang Aras lontarkan agar i...