Terkadang hati harus berperang pada sesuatu yang sebenarnya milikmu.
Angin pantai bertiup, menggoda atap seng menjadi sedikit berisik. Desa Lobo sangat hening."Tidurlah, Le. Biar aku berjaga."
"Apanya yang harus di jaga, Bang? Kita bukan lagi di hutan. Tidurlah. Kita bisa berbagi tempat, asal jangan dekat-dekat."
"Kita kan suami istri?"
Ia terkekeh dalam temaram malam. "Jika sudah bertemu sesama muslim nanti, akad itu batal demi hukum."
"Ya, ga gitu juga, Le."
"Harus begitu. Udah Abang, ih. Berisik. Sini tidur."
Ia menggeser duduknya dan mulai berbaring membelakangiku. Membuatku tidak punya pilihan selain menurut. Mengistirahatkan badan dengan tenang, setelah lebih dari dua bulan gantian berjaga di tengah malam. Bersiap barangkali ada sesuatu yang tidak diharapkan datang.
Meski begitu, mataku tetap nyalang. Memikirkan apa yang harus kulakukan setelah ini. Mencampakkan Azalea? Itu sadis sekali. Meski, gadis itu terang-terangan menolakku.
Apakah karena aku kurang tampan? Di pulau terpencil itu, ketampanan memang tidak ada artinya sama sekali. Dua bulan sudah cukup membuatku menjadi buruk rupa dan hangus seperti ini.Apakah aku kurang kaya? Namun, Azalea tidak tertarik dengan harta. Ia mengklaim diri sangat mencintai alam dan sesumbar akan menjaga semampunya dari kerusakan. Sementara orang berlomba-lomba mengeruk sumber daya alam sepuasnya, ia bergabung di perusahaan konsultan justru untuk memastikan para pengusaha tidak seenak jidat merusak bumi untuk kepentingan pribadi.
Tidak lama berselang, terdengar ia mendengkur halus, membuatku tergoda berbalik ke arahnya, merengkuh lengannya dan berusaha terpejam.
**
Bunyi derak lantai papan karena langkah seseorang membuatku terjaga. Hari masih sangat pagi, cahaya buram menyapa dari celah bilah dinding papan yang tidak rapat.
Azalea menggeliat, ia meringkuk berbantal lengannya, tepat menghadapku.Jantungku tiba-tiba berlompatan, menggedor kesadaran untuk terjaga sepenuhnya. Wajah tirus itu tidak sampai satu jengkal di depan hidungku.
Kuhela napas perlahan, mencoba mati-matian menahan gejolak yang tiba-tiba menyerang. Teringat cerita sesama model bagaimana mereka akhirnya kelepasan, menjamah sesuatu yang bukan haknya kemudian menyesal, tetapi diulangi lagi. Betul-betul sialan.
Sekarang, aku tahu bagaimana rasanya mati-matian berusaha mengalihkan tangan dari lengan yang sudah kupegang, meski bisikan di kepala mengatakan, dia adalah milikmu.
Menikahi gadis ini karena keadaan darurat ibarat menggenggam sembilu, aku sendiri yang terluka dan terasa silu, di sini, di dalam dadaku.
Buru-buru kulepaskan tangan dari lengan kurus itu lalu memutar badan memunggunginya. Hampir saja. Hampir saja tadi aku tergoda dengan bibir yang tepat berada di hadapan. Kuremas rambut yang mulai gimbal, lalu mengambil posisi telentang, memandang atap seng yang mulai berkarat.
Aku hanya membayangkan tetapi debaran dalam dada sudah seperti kejatuhan bom atom saja, porak-poranda. Tidak pernah kurasakan sensasi seperti ini, dengan Elara sekali pun.
Kugelengkan kepala sekali lagi, menyadari bahwa ikatan ini memang bukan seperti yang seharusnya. Kami hanya terikat status demi bertahan hidup dan mungkin batal demi syariat, jika nanti sudah bertemu dengan walinya.
Azalea terdengar bergumam lirih, membuatku terlonjak. Aku hanya berani melirik ketika ia akhirnya membuka mata, kemudian bangun dengan tergesa.
“Abang, maaf. Kenapa saya jadi pindah ke sini?” Ia bertanya, nyaris kepada diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akad Tanpa Wali
General FictionJuara 2 KWC 1 Terdampar di pulau terpencil berdua, lalu nikah nggak.ada walinya, emang bisa? Kita menikah saja, Lea." Takut ditinggal teman satu-satunya yang sedang demam, membuat Heins Arashi melontarkan ide gila. Usulan yang Aras lontarkan agar i...