Negosiasi

81 6 1
                                    

Mulut yang pedas belum tentu karena membenci. Bisa jadi rasa sayang dan perhatian yang diberikan dengan cara berbeda.

“Mama, aku mau nikah.”

Mama yang sedang menyeruput teh menghentikan gerakan dan menatapku dengan mata monoloid-nya, lekat. Garis wajah negeri samurai masih tercetak jelas pada wajah, kulit, dan juga rambutnya yang hitam tergerai.

“Kamu baru pulang langsung mikir nikah. Tapi kenapa semalam Mama ketuk berkali-kali ga keluar? Elara nungguin sampai malam tuh.”

“Aku ga dengar. Capek banget.” Bohong banget. Aku menghitung berapa kali Mama mengetuk pintu kamar dan kuabaikan.

“Kenapa Mama kasih tahu El? Aku lagi ga ingin ketemu siapa-siapa.”

“Lucu kamu itu.” Mama tertawa hingga matanya nyaris menghilang. “Gimana mau nikah kalau ga pengen ketemu orang? Kamu pikir bisa menikah sambil sembunyi? Bakal ada ribuan orang yang diundang, Ras.”

“Bukan dengan Elara.”

What?” Mama nyaris terpekik mendengarnya. Ia buru-buru meletakkan tatakan tehnya dan memposisikan duduk menghadapku.

“Kamu sehat, kan?” ujarnya, sambil sibuk memegang pipi dan keningku. Spontan aku menelengkan kepala. Risih.

“Aku serius, Mama.”

“Kamu udah tunangan, Ras. Ingat, kan? Gadis mana yang bisa bikin kamu tiba-tiba jatuh cinta?”

Bukannya sekedar menanyakan siapa gadis yang ingin kunikahi, Mama juga mengingatkan pertunangan yang sudah kujalani.

“Orang nikah aja bisa cerai, Ma. Apalagi baru tunangan. Lagian Mama tahu kalau aku ….”
“Mama paham.” Ia memotong ucapanku. Mama juga yang dahulu ikut keberatan ketika aku ditunangkan dengan sahabat sendiri. “Tapi gimana papamu sama Om Jo?”

Aku diam. Ada keadaan di mana pernikahan bukan hanya karena keinginan dua pasang anak manusia, tetapi juga perjanjian bisnis.

“Tapi aku jatuh cinta sama yang lain.”

Mama mendelik.

“Perempuan macam apa yang bisa membuatmu jatuh cinta? Padahal kerjamu selama ini iseng dan main-main sama anak gadis orang.”

Aku mahfum. Beberapa perempuan memang datang, dari sesama model hingga perempuan yang sekedar ingin cari perhatian. Mereka mengajakku keluar, sekedar makan, nonton, atau malam mingguan.

Satu-persatu kemudian mundur karena sadar diri, setelah sekian lama tidak ada kemajuan selain kuanggap teman. 

“Azalea, gadis di tim yang menyelamatkanku di pulau.”

“Itu imbalan yang dia minta setelah menolongmu?” tanya Mama, agak sinis.

Aku terdiam. Mulai membenarkan yang Azalea khawatirkan, malas berhubungan dengan orang kaya karena dianggap memanfaatkan keadaan. 

“Kami sudah menikah.”

“Heh?!”

Setelah Pak Sasmito dan istrinya, kini giliran Mama yang terkejut.

“Udah ga waras kamu, Ras?”

“Mama dengerin dulu.”

Mama terdiam mendengar ceritaku, kisah detail yang semalam hanya kugambarkan garis besarnya. 

“Dan aku ga pengen jadi pecundang, Mama.”

“Apa bedanya dengan Elara?”

“Itu perjanjian bisnis antara Papa dan Om Jo. Bukan mauku.”

Akad Tanpa WaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang