Ada perempuan yang tidak tahu diri, tetapi ada juga perempuan yang pandai menempatkan diri.
“Kamu berangkat sana, Ras. Biar tambah pengalaman kalau Papa udah nggak kuat kerja lagi. Jangan cuma tahu ngabisin duit aja.”Kuhentikan kunyahan sarapan dan memandang Papa.
“Jadwal pemotretanku bulan ini padat, Pa.”
“Kan, bisa di-re-schedule. Coba fokus sama perusahaan. Bukan Papa meremehkan hobi kamu itu, tapi banyak karyawan yang bergantung dan mengais rezeki lewat kita.”
Aku menunduk dan tidak berselera berdebat dengan Papa. Alasan apapun akan patah oleh logika yang Papa utarakan.
“Ini proyek besar. Persediaan minyak negara akan terbantu jika pekerjaan ini sukses.”
Blok Kaimana adalah primadona. Wilayah di kepala burung Papua itu menjadi incaran perusahaan besar dalam dan luar negeri. Beruntung, tender dimenangkan oleh perusahan milik Papa dan partner. Lelakiku itu memang ulet sekali.
“Besok berangkat dengan perwakilan dari konsultan.”
Tidak ada kata lain bagiku selain mengangguk setuju. Meski paham, setelah ini bakal diomeli Bang Ochi karena molor jadwal lagi.
“Aku kan cuma gantiin, Bang.”
“Tapi cewek-cewek itu lebih semangat kalau sama kamu, Ras.”
“Lagian aku cuma freelance, Bang. Suruh si Deo aja. Gara-gara gantiin dia jadi keterusan gini.”
“Iyaa!”
Bang Ochi mengomel panjang sebelum mematikan sambungan telepon.
**
Sore hari kami baru sampai di Kaimana setelah dua kali transit. Terakhir, tim diangkut dengan pesawat kecil, ke bagian ujung pulau yang menyerupai kepala burung.
Dahulu, namanya Irian Jaya. Akromin dari ‘Ikut Republik Indonesia, Anti Netherland’, yang dibuat oleh tokoh perjuangan asal Papua, Frans Kaisiepo. Pahlawan nasional yang gambarnya sering ditemukan di pecahan uang sepuluh ribu rupiah yang berwarna ungu itu. Sementara, bahasa setempat memaknai irian sebagai ‘bangsa yang dijunjung tinggi.’ Namun, nama Irian berganti Papua sejak 1999. Mutiara timur yang menyimpan berjuta kekayaan, minyak dan gas diantaranya.
Di sinilah aku sekarang. Di tanah kaya yang rakyatnya masih hidup sederhana.
“Saya bawakan tasnya, Pak.”
Bang Aiman, senior konsultan dari perusahaan penyusun AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), berinisiatif membawakan barangku satu-satunya.
“Nggak usah, Bang. Saya bawa sendiri aja.”
Bang. Kutekankan begitu agar tidak ada jarak antara kami meski berasal dari perusahaan berbeda. Aku dari tim pemrakarsa dan mereka tim penyusun AMDAL.
Seorang perempuan dari tim konsultan berjalan mendahului kami. Tubuhnya kecil, memakai kerudung biru tua yang dililit ke leher dengan wajah biasa saja, menurutku. Mengenakan celana, sepatu gunung, dan carrier besar di punggung, membuatnya terlihat seperti anak alam yang siap mendaki. Tumben ini perempuan, dingin amat kek es batu. Nggak nyapa sama sekali.
Selama ini, aku hanya menyadari satu hal, tampang dan kekayaan yang diwariskan Papa dan Mama, membuat nyaris semua wanita muda yang mengenalku berusaha mendekat dengan berbagai cara dan tipu daya.
Di luar Bandara Utarom, sebuah mini bus telah menunggu, armada yang khusus disewa untuk mengangkut kami ke hotel.
Perempuan dingin itu masih dengan aksi diam, hal yang membuatku penasaran. Ia memilih duduk di depan dekat sopir, sementara aku bersama Bang Aiman di bagian belakang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Akad Tanpa Wali
General FictionJuara 2 KWC 1 Terdampar di pulau terpencil berdua, lalu nikah nggak.ada walinya, emang bisa? Kita menikah saja, Lea." Takut ditinggal teman satu-satunya yang sedang demam, membuat Heins Arashi melontarkan ide gila. Usulan yang Aras lontarkan agar i...