Akad adalah sebuah janji yang menggetarkan Arsy.
Aku tersenyum kecut dan memukul kepalaku sendiri. Bisa-bisanya berpikir iseng seperti ini.
Aku memandang lurus ke depan, tidak ada bintang di langit. Buih putih samar bergulung dari kejauhan dan pecah di bibir pantai. Laut tenang, seolah-olah menyembunyikan amukan badai yang baru saja menenggelamkan sebuah long boot. Entah bagaimana nasib Bang Aiman dan Pak Antonius. Semoga mereka juga selamat.
Azalea beringsut mendekat setelah beberapa saat. Ia duduk di sampingku, menjaga sedikit jarak. Tangannya terulur.
“Minum, Bang.”
Itu adalah botol air mineral satu-satunya yang kami nikmati malam itu sebelum esoknya, perjuangan sebagai penyintas dimulai, sambil berdoa regu penolong segera datang menyelamatkan kami.
Azalea dengan semangat dan pengetahuan survive-nya, bukan kemampuan yang bisa dianggap remeh. Gadis itulah penolong situasi kami sesungguhnya.
Bagaimana ia tiba-tiba menghilang esok harinya dan membuatku cemas luar biasa. Membayangkan suku kanibal yang pernah kudengar menghuni pulau-pulau terpencil menculiknya, sementara aku tidak bisa leluasa bergerak mencari akibat luka di kaki.
Namun menjelang siang, gadis itu kembali membawa setandan kelapa dan segumpal sarang laba-laba.
“Kita harus tetap hidup, Abang,” ujarnya dengan kening berpeluh, saat kutanya ia ke mana.
“Dari mana dapat kelapa ini?”
Ia menunjuk sisi yang jauh, beberapa pohon kelapa tampak kecil dengan pucuk yang melambai-lambai tertiup angin.
“Buka luka Abang.” Ia memipihkan sarang laba-laba itu sambil berjongkok di depanku.
“Buat apa itu?”
“Bubuhi lukanya pakai ini, insyaallah segera mengering. Abang seharusnya mendapatkan antibiotik, tapi saya ga bawa.”
Ia kemudian sibuk membuka bebat dan menempelkan sarang laba-laba itu tepat di atas lukaku.
“Ini obat darurat, saya pernah liat di Geographic Channel. Digunakan para penyintas untuk obat luka.”
Aku tidak punya pilihan lain selain percaya. Meski rasanya perih dan berdenyut pada awalnya, luka yang harusnya mendapat jahitan itu terasa dingin pada akhirnya.
Ia juga dengan semangat menceritakan usahanya memanjat pohon dan memutus dahan kelapa dengan pisau lipat yang ia bawa.
Bagaimana setelah itu, hari-hari menjadi semakin berat ketika susu bubuk, biskuit, dan permen terakhir yang ada di tas ajaibnya tandas. Bagaimana berhari-hari kami berjuang melawan dehidrasi dan ia dengan sigap mengumpulkan air dari uap dedaunan yang ditampungnya mengunakan plastik, menghemat buah kelapa yang hanya sisa beberapa, sebelum dua minggu berikutnya menemukan rembesan air dari dinding bukit.
Ia pandai mencari makan meski rasanya kadang tidak bisa diterima lidah, buah atau umbi yang didapatnya di hutan. Menangkap dan memanggang hewan laut yang tinggal di karang. Memerangkap ikan-ikan kecil dengan jilbabnya sebagai penyambung kehidupan.
Bagaimana ia terbahak-bahak mengetahui aku nyaris tidak tahu apa-apa tentang alam, bersahabat dengannya, dan bagaimana bertahan di pulau seliar ini. Padahal sebagai laki-laki, ia seharusnya yang kulindungi.
Bagai sinetron di televisi, aku adalah laki-laki tak berdaya yang dinafkahi sang istri.
Sungguh-sungguh seperti sebuah film, menyaksikan tangan lincah itu menggesek dua buah kayu berjam-jam hingga serpihan tatal di bawahnya memercik api. Api yang kami jaga agar tidak padam hingga dua bulan kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akad Tanpa Wali
Aktuelle LiteraturJuara 2 KWC 1 Terdampar di pulau terpencil berdua, lalu nikah nggak.ada walinya, emang bisa? Kita menikah saja, Lea." Takut ditinggal teman satu-satunya yang sedang demam, membuat Heins Arashi melontarkan ide gila. Usulan yang Aras lontarkan agar i...