Saya Benar, Bulik

80 6 1
                                    

Bagi sebagian orang, harta dan ketampanan bukan ukuran.

Di-TKO pada serangan pertama, membuat Azalea senyum-senyum sambil menatapku. Membuatku luar biasa gemas.

Curang!

Ia sama sekali tidak memberi warning, bapak seperti apa yang mendidik dan membesarkannya. Benar-benar di luar dugaan.

Perempuan bermulut cabe itu, juga keluarga ini, membuat semua yang kumiliki tidak berarti. Harta, jabatan, pangkat, ketenaran, sampai tampang pun berada di titik paling bawah. Hal yang orang lain perebutkan sampai baku hantam dan menanggalkan rasa malu.

Kuputar otak untuk membela diri.

“Tapi, Bulik, bukankah kriteria memilih jodoh itu ada empat?”

“Apa yang kamu punya?”

Ibu sambung Azalea ini benar-benar minta diremas mulutnya. Pak Sasmito hanya senyum-senyum melihat sang istri memelonco calon menantunya.

“Harta, saya punya.” Kepalang tanggung, aku harus menunjukkan kualitas diri meski nilai agamaku jeblok.

“Papa adalah pengusaha migas  perusahaan swasta terbesar di Indonesia,” lanjutku.

“Itu, kan, milik papamu.”

“Tapi saya sedang dipersiapkan untuk meng-handle perusahaan ini. Makanya saya dikirim ke Kaimana yang mau beroperasi. Di Sumatera dan Jawa, kilang kami juga ada.” Aku mulai jumawa, demi branding, menjual diri pada calon mertua. “Kelapa sawit dan batu bara juga kami miliki. Mama berbisnis kuliner dan punya beberapa cabang di Jakarta.”

“Hmm.”

Hanya itu jawaban Bulik Sulis, membuatku makin geram. Pak Sasmito mengangguk-angguk dan Azalea tetap dengan senyum mengejek.

“Itu artinya saya berasal dari keturunan baik-baik.”

“Sekolahmu?”

Kemudian, aku menyebutkan TKIT, SDIT, SMPIT, SMA favorit, kuliah di pertambangan dan magister manajemen bisnis lulusan luar negeri.

Wawancara dengan perempuan pedas ini, lebih mengerikan daripada sidang tesis.

“Lha itu TK sampai SMP sekolah agama semua. Kok ndak diamalkan?”

“Lupa, Bulik. Sudah lama,” jawabku asal.

“Selain bantu bisnis papamu, kerjamu ngapain?”

“Model, Bulik.”

“Wooo! Pantesan!” teriakannya membuat nyaliku tersuruk ke bawah kolong meja.

“Kok rasanya pernah lihat. Lha mukamu jadi berubah begitu kok? Bikin pangling.”

Dikomentari seperti itu, harga diriku naik lagi.

“Tapi wajah gantengmu, kekayaanmu, dan titel yang sepanjang jalan Pantura pun, ndak akan menolong saat kamu diambang kematian. Iyo opo ora?”

“Iya, Bulik.”

Harga diriku yang tadi perlahan naik, pingsan lagi, atau barangkali mati suri. Selebihnya adalah wawancara seputar keluarga. Papa, Mama, Hikari dan Sashi. Lebih daripada itu, aku berjanji kepada si Bulik mulut level cabe, untuk salat rutin lagi sambil memperbaiki diri.

“Sampun (sudah), Mas. Monggo diputuskan.” Bulik Sulis mengembalikan keputusan ke tangan suaminya.

Pak Sasmito yang daritadi hanya diam menyimak, berdehem dan mulai buka suara. Sementara, badanku sudah dingin semua.

“Keluarga kami miskin. Lea juga bukan gadis yang cantik seperti artis. Apa kira-kira orangtuamu nanti tidak keberatan?”

“Menikah adalah keputusan saya, Pak. Saya yang akan menjalaninya. Itu hak saya.”

Akad Tanpa WaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang