Taksi berlambang burung membawa kami keluar bandara, memecah kepadatan ibukota. Berbaur dengan berlarik-larik kendaraan yang berebut badan jalan.
“Kita pulang ke mana, Abang?”
“Ke?...”
Aku terdiam cukup lama sambil menimbang. Belum ada persiapan apa-apa tentu saja. Pernikahan mendadak karena sebuah peristiwa, membuatku belum berpikir untuk memiliki rumah sendiri.
Pulang ke rumah Mama? Ada Papa yang aku khawatir sikapnya akan membuat Azalea berkecil hati dan membenarkan anggapan buruk tentang orang kaya. Terlebih lagi jika Elara tahu.
“Ke rumah Eyang, ya?”
“Abang tinggal di rumah Eyang selama ini?”
“Em … bukan gitu. Di rumah Eyang lebih tenang karena mereka cuma hidup berdua, sama satu pembantu.”Ia diam. Kendaraan terus melaju dengan tenang.
**
Rumah Eyang tidak terlalu besar, bergaya arsitek kuno, mengingatkan pada bangunan lama peninggalan Belanda. Beliau mantan pejabat publik yang berjaya pada masanya.
Rumah ini dan penghuninya, menyambut Azalea dengan istimewa. Eyang Putri terutama. Ia bahagia karena memiliki teman bicara.“Tinggal di sini selamanya, kan?” Mata tuanya mengerjap, penuh harap.
“Sementara, Eyang. Sampai rumah yang mau diambil kemarin finishing.”
“Kenapa harus beli rumah sendiri, Ras? Rumah ini banyak kamar kosong, tinggal mau pilih yang mana.”
Masalahnya, aku cuma ga mau kalau Elara tahu dan melabrak ke rumah ini, Yang.
“Belajar mandiri,” ucapku, sekenanya.
Tidak mudah. Sangat tidak mudah seorang Heins Arashi menyembunyikan pernikahan agar tidak terendus publik.
Membagi waktu untuk datang di rumah Mama setiap kali Elara mengatakan akan mampir. Mencari seribu satu alasan agar Azalea mau ditinggal.
Memberi tahu perempuan kecilku itu bahwa Papa tidak terlalu setuju sehingga sebaiknya menunda bertemu.
Saya izin ke kantor, pesannya di ponsel, suatu hari saat aku sedang di rumah Mama.“Mau ngapain?”
Mengurus pengembalian uang duka, sekaligus melapor. Laporan baru via telepon setelah pemberitahuan dari Basarnas, kan?
“Tunggu aku pulang.”
Saya berangkat sendiri saja, Abang. Bosan ga ngapa-ngapain di rumah.
Aku mendesah sambil melirik Elara yang asyik berbincang dengan Mama. Ia menoleh dan tersenyum. Senyum yang membuatku dilanda bimbang.
Bagaimana cara agar aku bisa bicara jujur tetapi tidak melukainya?
“Abang kapan ngantor lagi?” Ia bertanya sambil melangkah mendekat. Mengempaskan tubuhnya di sisiku, rapat. Berbeda dengan Azalea yang jual mahal sebelum halal, Elara terbiasa bergaul sedikit bebas.“Mungkin minggu depan.”
“Siap-siap jadi bahan berita.”
“Begitulah.” Aku menjawab sambil menggeser duduk, menjauh. Namun, gadis cantik itu justru ikut bergeser dan merangkul lenganku. Merebahkan kepala di bahu, menggoda penciuman dengan harum sampo yang menguar dari rambutnya yang dicat sedikit cokelat.“Berarti minggu depan kita udah bisa keluar dong?”
“Kemana?”
“Hang out, Abang. Udah berapa lama kita ga pernah jalan? Bosan.”Mati!
Nggak tegaan. Begitu barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan. Bagaimanapun persahabatan ini sudah terjalin sejak aku dan Elara kecil.
Sebelum pulang tadi, ia sudah mengajukan daftar rencana acara dan tempat-tempat yang akan kami kunjungi selepas aku kembali ke publik nanti.
Aku mampir ke perumahan, mengecek pekerjaan tukang, dan menyelesaikan upah lima puluh persen setelah yakin semua hal telah dibereskan, sebelum pulang.
![](https://img.wattpad.com/cover/351751337-288-k35273.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Akad Tanpa Wali
General FictionJuara 2 KWC 1 Terdampar di pulau terpencil berdua, lalu nikah nggak.ada walinya, emang bisa? Kita menikah saja, Lea." Takut ditinggal teman satu-satunya yang sedang demam, membuat Heins Arashi melontarkan ide gila. Usulan yang Aras lontarkan agar i...