Carabiner

47 3 2
                                    

Yang terlihat lemah, bisa jadi ia justru menjadi pahlawan.

Dingin di sekujur tubuh tak ayal membuatku menggigil, dada sesak, terbakar, dan seperti tercekik di tenggorokan. Sesekali, terasa ada air merambat dan menggenang di tubuh bagian bawah.

Kukumpulkan kesadaran yang terserak. Aku seperti terbangun setelah mimpi dihajar puluhan preman dan tubuh terasa sakit semua.

Erangan seseorang persis di samping telinga memaksaku tersentak dan membuka mata. Kumiringkan kepala demi melihat siapa yang bersuara.

Bayangan samar seseorang yang tergolek di sampingku perlahan menjadi jelas, pemantik yang membuatku sadar sepenuhnya.

Azalea terbaring telungkup di disampingku dengan ransel kesayangan memberati punggungnya.

Aku mencoba bangkit, tetap sesuatu menahanku.

Apa ini? Tali?

Sentakan tiba-tiba dari tali yang menghubungkan kami berdua, spontan membuat gadis itu ikut terangkat sedikit dan kembali terhempas. Erangannya terdengar lagi.

Kuraba tali yang menjeratku dengan gadis itu lalu perlahan duduk, meski kepala seperti dihantam godam, dan kembali berdenging.

Air merambat dan membasahi kakiku lagi. Debur ombak dan aroma garam membuatku tersadar sepenuhnya. Kami selamat dan terdampar di bibir pantai.

Senja sudah purna sepenuhnya, hanya meninggalkan sedikit cahaya yang membantuku melihat sekeliling. Bayangan hitam gerumbulan seperti siluet raksasa yang siap menelan apa saja.

Sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia di tempat ini. 

“Lea! Azalea! Kamu sudah sadar?”

Aku bertanya sambil mengguncang tubuhnya, saat kembali mendengar gadis itu merintih.

Ia berusaha menopang kedua tangan dan bangun. Namun, tali yang masih menyatukan kami seperti gaya gravitasi yang menarik tubuhnya jatuh ke arahku.

Aku meringis saat tubuhnya jatuh tepat di atas pahaku yang perlahan berdenyut semakin nyeri.

Andai bukan dalam situasi menyedihkan seperti ini, adegan jatuh begini pasti manis seperti di film.

“Abang?” Ia mendongak mencari-cari wajah orang yang tepat di depannya. “Alhamdulillah, kita selamat,” ujarnya yakin setelah melihat wajahku dalam temaram malam.

Ia kesulitan melepaskan carrier yang lekat menempel di tubuhnya. Ada tiga pengait di pinggang, diagfragma, dan dada yang membuat tas punggung itu tetap lekat di punggung, meski entah berapa lama kami berjibaku dengan ombak dan gelombang hingga tak sadarkan diri.

Ia berdiri, terhuyung, lalu memuntahkan cairan setelah berhasil melepaskan ranselnya. Entah sudah berapa banyak air laut yang melesak masuk ke dalam lambung gadis itu. Rasa penuh dan begah pun kurasakan juga. Melihatnya muntah, memancing rasa mual dan aku spontan melakukan hal yang sama, memuntahkan air laut yang terasa asin bercampur pahit.

Namun, saat hendak berdiri, ransel Azalea terseret tubuhku. Sadarlah aku kini, tali yang menghubungkan kami berdua tersambung dari tas ini. Kucoba menyentuh tetapi tidak berhasil melepasnya. Sementara, pahaku yang tadi tertimpa Azalae kembali berdenyut nyeri.

Azalea tertatih mendekat dan membantuku melepaskan kaitan.

“Ini apa?”

“Carabiner, Abang. Sengaja saya kaitkan tadi melihat Abang mulai lemas. Saya ga pandai berenang dan ga mungkin kuat bantuin. Jadi kalau memang kita sama-sama mati, biar orang ga susah nyarinya satu-persatu.”

Akad Tanpa WaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang