Azalea, bunga cantik yang kuat dan sederhana. Ia mampu tumbuh di tepat tandus dan kering.
Kami duduk tak nyaman di ruang tamu, rumah yang Azalea sebut sebagai rumahnya, tetapi kini tampak asing terlihat dari caranya duduk
Mencuci kaki dan tangan lalu masuk ke kamar kesayangan adalah ritual orang-orang mudik untuk meluapkan rindu akan suasana kamar masa kecil dan kampung halaman. Hal yang tidak dilakukan gadis di sebelahku ini. Ia tampak kikuk dan memandang sekeliling ruangan.
Perempuan paruh baya yang tadi membukakan pintu, buru-buru ke dapur setelah Azalea mengatakan ingin bertemu dengan Pak Sasmito.
“Bapak sedang ke mushola. Tunggu saja dulu, saya buatkan minum.” Perempuan itu menghilang begitu saja tanpa menunggu persetujuan. Membuat aku dan Azalea hanya saling pandang.
“Kamu ga salah rumah kan, Le?”
Ia tidak menjawab, hanya berdiri dan melangkah ke pintu yang tertutup rapat di bagian samping kiri. Dibukanya pintu itu perlahan dan melongok ke dalam.
“Abang, sini!” panggilnya sambil melambaikan tangan tanpa menoleh sama sekali.
Aku yang penasaran segera bangkit dan mendekatinya.Azalea membuka lebar pintu dan tampak sebuah tas teronggok di samping beberapa tumpukan baju, di atas tempat tidur.
“Ini baju yang dulu saya bawa ke Kaimana,” bisiknya sambil melangkah masuk.
“Jadi ini benar rumahmu?”
Ia memalingkan wajah dan melotot ke arahku.
“Ya kali saya lupa rumah sendiri, Bang. Tapi siapa perempuan itu?” bisiknya.
Aku hanya menggeleng tak paham. Menebak-nebak tetapi tidak berani mengatakan apa yang terlintas dalam pikiran.
Aku menoleh saat mendengar suara seseorang meletakkan gelas dan bersirobok denganku. Tatapan heran perempuan berjilbab yang tadi membukakan pintu. Mata yang penuh curiga.
“Le!”
“Ya?” Azalea menegakkan badan saat masih sibuk menilik ke dalam tas.
“Ibunya datang.”
Gadis itu bergegas keluar, melewatiku yang masih berdiri di pintu.
“Bu, ini masih rumah Pak Sasmito, kan?”
Perempuan itu mengangguk, masih dengan mata penuh selidik.“Ibu siapanya Bapak?”
“Saya ….” Kalimat perempuan itu menggantung, seiring ucapan salam dari arah pintu.
Seketika kepala kami yang sama-sama menoleh.
“Waalaikumussalaam!” Serentak kami menjawab.
“Bapak!” Azalea menghambur ke pelukan laki-laki yang mematung serupa batu. “Lea pulang, Bapak,” ujarnya sambil terisak.
Perempuan berjilbab itu berdiri dan menutup mulut dengan kedua tangannya.
“Lea, ini bener kamu, Nduk?”
Laki-laki berkopiah putih itu menepuk-nepuk pundak putrinya.
“Ini Lea, Bapak. Lea selamat.” Lalu terdengar isakan, tangis yang hanya sekali kulihat turun dari pipi gadis itu, saat berdoa di atas rakit, kini ia menangis lagi.
**
Kami duduk berhadapan. Pak Sasmito mendengarkan cerita putrinya dengan saksama. Wajah tuanya berbinar di bawah sorot lampu yang tepat berada di atas kepalanya.
“Bapak kira akan kehilangan kamu selamanya, Nduk. Syukurlah kamu masih diberi umur panjang.”
“Terus Ibu ini siapa?” tanyanya setelah selesai bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akad Tanpa Wali
General FictionJuara 2 KWC 1 Terdampar di pulau terpencil berdua, lalu nikah nggak.ada walinya, emang bisa? Kita menikah saja, Lea." Takut ditinggal teman satu-satunya yang sedang demam, membuat Heins Arashi melontarkan ide gila. Usulan yang Aras lontarkan agar i...