Perempuan Asing

65 5 2
                                    

“Abang, kenapa ke Semarang? Bukankah sebaiknya kita ke Jakarta dulu?” tanyanya, sesaat setelah dokter jaga memeriksa kami untuk yang terakhir kali.

“Kamu tahu rasanya orang tua yang hidup sendirian dan anaknya menghilang?”

Ia terdiam dan memandangku tanpa kedip, lalu berhenti protes.

Dokter klinik mengatakan bahwa secara umum keadaan kami baik. Berkali-kali ia menyatakan keheranan, bagaimana kami bisa bertahan dalam kondisi alam liar yang sama sekali tidak bisa diprediksi. Sehingga setelah visit itu, ia mengizinkan kami keluar klinik selepas makan siang.

Malaikat kecil ini penyelamatnya, ucapku, dalam hati sambil melirik Azalea.

“Mereka tidak tahu saja rasanya seharian lidah gatal karena makan talas bakar liar,” ucapku yang dibalas tawa geli gadis itu.

“Mereka juga tidak tahu gimana Abang justru muntah setelah makan kepiting kelapa panggang yang enak itu.” Giliran ia membalasku.

“Dehidrasi dan hampir mati,” timpalku lagi.

“Dan kita masih hidup meski hampir mati berkali-kali. Kalau ini permainan game di ponsel, barangkali nyawa kita ada lima.”
Lalu kami tergelak, takjub sendiri, bagaimana kami bisa melewati situasi seberat itu.

**

Senja di Kaimana memang tiada duanya. Pesisir pantai yang langsung menghadap ke barat ini disulap menjadi jingga merona setiap sore oleh sang surya.

Aku dan Azalea sedang duduk di atas semen pembatas jalan, menikmati pantai sebagai perintang waktu, sebelum esok pagi kami bertolak menuju semarang.

Teluk Triton sedang memamerkan keelokannya. Raja Ampat-nya Kaimana ini juga dihiasi gugusan pulau-pulau karang yang tinggi menjulang, ditumbuhi pohon-pohon hijau yang terhampar sejauh mata memandang.

Kami hanya duduk memerhatikan beberapa pelancong yang asyik menyelam. Konon katanya, beberapa dari mereka memilih menyelam pada malam hari demi melihat kota yang indah di dasar laut. Terumbu karang lunak beraneka warna yang tampak bersinar di saat gelap.

Andai tidak dalam kondisi baru saja melewati peristiwa berat, mungkin aku akan mengajak Azalea menyelam, mengajarinya berenang. Bermain bersama ikan di air yang jernih dan terlihat dasarnya.

Aku memandang jauh ke depan, sementara Azalea duduk rapat di sisiku. Hal yang dahulu seperti tabu untuk ia lakukan.

Tinggal di Jakarta, aku heran ada perempuan yang memiliki sikap dan pemikiran tradisional seperti dirinya.

Aku rengkuh pundaknya, seketika ada damai yang menyusup ke relung dada. Azalea tetap diam saja.

Padahal saat di pulau ia selalu berteriak, “Abang! Jangan dekat-dekat!” Kemudian beranjak menjauh, meski aku tidak berniat melakukan apa-apa. Bukankah duduk rapat bisa mengurangi hawa dingin dan rasa kesendirian? Namun, gadis itu menolak mentah-mentah.

“Saya bisa pulang sendiri. Abang bisa cancel dan pulang ke Jakarta. Orang tua Abang pasti juga akan senang kalau tahu Abang selamat.” Ia bersuara, memecah kesunyian di antara kami.

“Aku mau bilang terima kasih sama Bapak sebelum kembali ke Jakarta.”

Kurengkuh ia lebih erat, sementara semilir angin sore memainkan pucuk-pucuk pepohonan.

Malamnya, kami tidur di kantor SAR, menunggu pagi menjelang. Badan rasanya sudah jauh lebih baik, setelah mandi dan berganti baju. Pakaian yang diberikan dari sisa sumbangan masyarakat untuk program kebencanaan, kebetulan ada yang muat di badanku.

Sebuah ironi. Hidup memang bisa jungkir balik dalam hitungan hari. Ada masanya aku memakai baju branded endorse sebuah produk dan hanya dipakai beberapa kali, sekarang merasakan yang seperti ini.

“Kenapa harus jauh-jauh, Le? Tidur aja di sini,” pintaku, saat melihat Azalea mengambil posisi di sudut dan menggelar selimut yang diberikan petugas jaga.

“Jangan. Nanti saya merayap mendekati Abang lagi seperti semalam.” Ia tertawa malu, pada diri sendiri.

Kubiarkan ia berbaring dengan posisi memunggungi, meninggalkanku dengan secangkir kopi hangat, diliput hening. Keheningan yang membuatku bisa berpikir tentang bermacam jawaban, tentang Azalea, tentang Elara, dan tentang segala kemungkinan. Aku tersenyum sambil mengusap kepala. Hidup terkadang berakhir dengan kisah yang tidak terduga.

Kusandarkan punggung pada dinding dan menyesap kopi, sekali lagi. Lalu, melirik Azalea yang diam. Ia memang mudah tertidur, di mana saja.

Aku berjalan mendekatinya, setelah berkumur dengan air putih dari botol mineral. Membaringkan tubuh perlahan di sisinya. Masa bodoh jika esok hari ia akan terkejut sekali lagi atau aku yang kembali digoda fantasi sepanjang malam sampai pagi.

Toh malam ini, hingga kini, ia masih milikku. Milikku.

**

Pesawat kecil membawa tubuhku dan Azalea meninggalkan Kaimana yang eksotis beserta peristiwa tak biasa yang akan kuingat sepanjang hayat. Barangkali akan menjadi cerita yang kukisahkan berulang-ulang kepada anak cucuku nanti.

Untuk pertama kali, aku memiliki hutang pribadi, kepada sebuah lembaga, saking tidak ingin kepulanganku diliput awak media.
Semua kartu identitasku raib ditelan gelombang, bersama ransel pundak dan laptop. Milik Azalea yang selamat, sebab tersimpan dalam carrier-nya yang serupa kantung Doraemon.

Dengan surat pengantar dari Pos SAR Kaimana, kami lolos di bandara.

Dua kali transit, mengulang rute berangkat, aku dan Azalea tiba di Semarang sore harinya.

“Abang harusnya ga usah repot-repot,” protes Azalea, sekali lagi, saat kami berkendara dengan  bus menuju kota kecil yang ia sebutkan.

“Kamu keberatan merawat dan mencarikanku makan saat di pulau?”

“Ga juga.”

“Jadi kenapa aku harus keberatan sekedar mengantarmu pulang?”

Ia menatapku sekilas, kemudian pandangannya kembali lurus ke depan.

“Makasih, Abang. Bakal heboh nanti desa saya kedatangan artis.”

“Mana ada artis gembel begini.” Kudengar ia terkekeh. “Aku yang harusnya terima kasih sama kamu, Le,” ucapku sungguh-sungguh lalu meraih tangannya. Kemudian merasakan desiran halus di dada.

“Kamu masih istriku, kan?”

Azalea tidak protes tetapi juga tidak menjawab. Ia memalingkan wajah ke luar jendela, memandang sawah dan ladang yang berlarian dan tertinggal di belakang.

Ojek mengantarkan kami ke desanya setelah kami turun di pertigaan jalan selepas Isya. Tadi lamat kudengar kumandang azan penandan waktu salat tiba.

Melewati jalan kecil beraspal yang gelap tanpa penerang, tubuh kami terguncang-guncang dipermainkan ceruk jalanan.

Beberapa kali berpapasan dengan truk pengangkut membuat kami minggir, nyaris terjun ke parit yang mengalir air tenang.

“Ngangkut apa itu, Mas?”

“Batu gamping,” jawab ojek yang membawaku.

Cukup lama sampai akhirnya motor berbelok mengikuti ojek Azalea yang berjalan di depan, lalu berhenti di sebuah rumah sederhana berdinding setengah semen setengah papan.

Azalea mengajakku masuk setelah membayar ongkos dan mengucapkan terima kasih.
Ia mengetuk pintu dan menunggu. Rumah dengan pencahayaan rendah pada teras itu terlihat sepi seperti tanpa penghuni.

Kali kedua mengetuk, baru terdengar langkah seseorang dari dalam ke arah pintu.

“Sinten, nggih? (Siapa, ya?)”

Itu suara seorang perempuan. Bukankah Azalea pernah bercerita bahwa bapaknya tinggal sendirian?

Gadis itu tak kalah terkejutnya, ia menatapku dengan pandangan penuh tanya.
Pintu dibuka, tampak seraut wajah perempuan setengah baya dengan jilbab sederhana yang berdiri di ambang pintu. Tatapannya penuh selidik dari ujung kaki ke kepala. Padaku dan Azalea.

“Ibu sinten nggih?”

“Mbaknya sinten? Mau nyari siapa?” Ia balik bertanya.

**

Akad Tanpa WaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang