PROLOG

22 7 1
                                    


Gadis itu memeluk lututnya dengan erat, tubuhnya yang polos bergetar—dipenuhi banyak luka lebam di wajah dan seluruh badannya. Dia menangis, tetapi suaranya terdengar seperti orang yang tercekik, begitu pula dengan deru napasnya yang persis seperti orang terkena asma. Seberapa keras dia menghirup udara untuk mengisi kekosongan paru-paru, dadanya tetap saja terasa sakit.

Matanya menatap takut pada sosok pria di hadapannya yang tengah membawa celurit, mengabaikan sosok lain yang kini merintih dan tergeletak penuh darah.

Otaknya menginginkan dia bertindak untuk melarikan diri, tetapi raganya tidak mampu untuk beranjak. Seluruh ototnya membeku, sama sekali tidak membiarkan sang pemilik tubuh bersembunyi dari sosok monster jelmaan iblis.

Terpaku ... matanya bertemu dengan monster di hadapannya, yang juga menatapnya dengan beringas. Tatapannya sarat akan rencana penyiksaan terhadap dirinya. Monster itu sepertinya akan memukulnya, mencambuknya, atau malah mengotorinya lagi.

Untuk saat ini, gadis itu sama sekali tidak berpikir tentang semua itu. Otaknya sudah penuh akan keterkejutan yang membuatnya bimbang di antara kesadaran dan kegelapan. Ibunya ada di sana, memejamkan mata dengan raga yang sama sekali tidak bergerak. Mati.

Wanita yang telah melahirkannya itu telah meregang nyawa di hadapannya sendiri, direnggut dalam kematian oleh pria yang selama ini juga telah menghancurkan hidupnya.

Bagaimana bisa semua ini terjadi?

Bukankah kesepakatannya tidak pernah dia langgar?

Namun, kenapa ancaman itu menjadi kenyataan?

“Bunuh saja aku, kenapa kamu malah membunuhnya?“ Setelah lama berdiam, gadis itu bersuara. Terbata-bata dan lirih, mengandung kesedihan juga amarah.

Monster itu terkekeh, mengacungkan celurit ke arah si gadis. Melangkah pelan mendekat dengan tatapan penuh akan nafsu. “Kamu masih berguna untukku, untuk apa membunuhmu?“

Bahkan, setelah pembunuhan yang baru saja dilakukan, dia sama sekali tidak merasa bersalah. Malah merasa bangga bisa menyingkirkan seseorang yang selama ini sudah menghalangi kesenangannya.

Sang gadis semakin ciut, ketika si monster berjongkok di hadapannya. Matanya terpejam dengan erat, ketika dagunya dicengkram dengan kuat. Embusan napas berbau alkohol itu menerpa pipinya, yang membuatnya semakin merasa jijik. Gadis itu ingin memberontak, tetapi ketakutan lebih menang daripada keberaniannya.

“Aku masih membutuhkanmu," bisik sang monster, membelai pundak polos si gadis dengan punggung celurit. Senyum kemenangan terpatri di bibirnya dengan kepuasan.

Gadis itu tidak tahan lagi. Semua penderitaan ini benar-benar membuatnya sengsara. Dia tidak ingin hidup lagi, toh tujuannya untuk bertahan sudah hilang dari dunianya. Daripada mentalnya terganggu, bukankah lebih baik dia mengakhiri hidupnya saja?

Dia tengah bersiap mengumpulkan keberaniannya. Tekadnya sudah bulat, tangannya terkepal erat dengan keringat yang mulai membasahi dahi. Mengabaikan sang monster yang terus bicara, gadis itu menyahut celurit yang masih menempel di bahunya.

MARCH: Summer In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang