Takut. Itulah yang dirasakan Aruna saat ini. Tubuhnya bergetar hebat penuh kepanikan tatkala pria di masa lalu berdiri di hadapannya—menyeretnya kembali pada kubangan trauma masa lalu. Dia benar-benar kesulitan untuk bernapas, bahkan tangannya tidak mampu dia gerakkan.Bagaimana bisa pria itu ada di sini sekarang? Bukankah dia seharusnya masih ada di penjara?
“Lama tidak berjumpa, Sayang," ucapnya yang membuat Aruna bergidik. Dia tidak bisa lagi menahan perasaan sial yang dialami tubuhnya. Tepat ketika pria itu hendak mendekat padanya, Aruna melepaskan suaranya yang tertahan. Berteriak sekencang-kencangnya untuk membuat kegaduhan.
Usahanya berhasil, pria itu panik dan langsung pergi begitu saja. Lalu, seorang perawat datang dengan keheranan, tidak lama kemudian Aroon juga ikut menyusul.
"Aruna, ada apa?" Aroon berjalan cepat mendekat. Tangannya mengudara, antara yakin tidak yakin menyentuh pundak ringkih itu.
Aruna menangis sesenggukan. Dia menggeleng. "A-Aroon ... a-aku ingin pulang," katanya terbata-bata.
Aroon sedikit kaget. "Kamu masih belum sembuh sepenuhnya, Aruna."
“Tapi aku ingin pulang. Aku ingin kembali sekarang juga!“ Aruna histeris, berteriak sambil menangis.
“Sssttt, tenanglah, Aruna.“ Aroon tampak kebingungan dengan sikap wanita itu. "Kamu pasti akan pulang, tapi nanti, ya kalau sudah sembuh."
Aruna menggeleng kasar. "Kamu tidak mengerti, Aroon. Aku tidak bisa terus di sini, aku mau pulang sekarang." Aruna sudah hendak mencabut selang infusnya, tetapi urung saat melihat Bibi Wati masuk.
Bibi Wati mengerutkan dahi heran. “Ada apa, Aruna? Kenapa menangis?"
"Bibi ...." Mulut Aruna terasa kelu, bukannya menjawab, dia justru menangis.
"Kenapa? Ada apa denganmu?" Bibi Wati perlahan mendekat.
"D-dia ... dia datang, Bi. Dia ke sini," terang Aruna dengan terbata.
Bibi Wati yang tidak paham kembali bertanya, "Dia siapa?"
"Pria bajingan itu, di ada di sini tadi. Dia datang ke kamarku dengan senyuman menjijikannya. Sungguh, aku takut, Bi. Aku ingin pulang, tolong bawa aku pergi." Tangis Aruna semakin pecah.
Bukannya percaya, Bibi Wati malah terkekeh. Merasa lucu dengan ungkapan keponakannya itu." Jangan halusinasi, dia tidak ada di sini. Kamu pasti berbohong, kan?“
"Untuk apa aku bohong, Bi?" Di wajahnya yang sudah basah, dia mendongak penuh terluka.
Bibi Wati berdecak, mendekat lalu berbisik,"Jangan membuatku marah, Aruna. Aku sudah hampir kehilangan kesabaran karenamu."
"Kenapa Bibi tidak percaya padaku? Aku tidak berbohong, dia ada di sini!" teriak Aruna akhirnya, mengeluarkan kesesakan dan ketakutan yang ditahan. Aruna berusaha menarik selang infusnya, tetapi dihentikan Bibi Wati. Dua wanita itu sedang mempertahankan egonya masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARCH: Summer In Your Eyes
Lãng mạn[Romansa, Lengkap] •A Month In A Day•• Masa lalu kelam membuat Aruna tanpa sadar menderita bipolar dan penyakitnya itu membawa dampak dalam pekerjaan. Sebagian teman kerjanya di Maret Market menyebutnya sebagai wanita aneh, tetapi Aroon selalu mema...