Satu tangki lem terasa tumpah di kelopak Aruna—lengket. Rasanya hanya ingin tiduran saja untuk hari ini, energinya lenyap terserap habis. Bagaimana tidak, dari matahari masih tidur pulas sampai berganti bulan yang bangun dia, sibuk lintang pukang membantu sang bibi. Demi terwujudnya acara arisan paripurna, tanpa rancu.
Sedari tadi pelipisnya terus dia tekan, semua juga tampak buram membayang, bahkan gagang pel jadi korban tumpuan untuk berdiri. Otot-otot kaki wanita itu lemas, semakin prihatin ketika wajah Aruna pucat seperti tanpa aliran darah. Bibir manisnya ikut kering butuh cairan.
"Aruna, maafkan aku soal kemarin. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk memanfaatkan rasa bersalahmu, jadi lupakan saja soal permintaanku sebelumnya," kata Aroon hati-hati. Dia baru datang, tas punggung masih mendekap hangat, tetapi si pemilik langsung bergegas begitu siluet Aruna berkelebat kilat.
Ketika jarak tersisa satu meter, Aroon berhenti, harap-harap cemas akan reaksi simultan Aruna. Namun, sunyi. Wanita itu hanya tertunduk dalam diam. Hampir saja bahu kecilnya Aroon sentuh, tetapi kejadian tempo hari membuatnya urung. Tangan kekarnya terkunci di udara beberapa detik. "Apa yang terjadi?"
Sesaat Aruna sadar, kemudian menggeleng pelan. "Tidak, itu sudah janjiku padamu, bukan? Jadi, tolong jangan hentikan aku."
Barisan semut kecil yang terukir rapi di atas iris pekat Aroon mengerut dalam, tanda tanya mulai berkelindan kala wajah ayu Aruna amat pucat tanpa rona. Kenapa wanita ini seperti kotak misteri? Setiap kali menatapnya akan muncul berbagai tanya tak bermuara.
Alat pel itu bergerak kacau, dari kiri menuju depan bahkan ember perasan air kini juga tertampar punggung kaki Aruna. Bercak air keruh mulai membanjiri rak jajanan ringan, Aruna senewen lalu duduk didera rasa panik.
"Biar aku bantu!" Aroon lekas ambil tindakan, mengambil ember yang terguling ringan.
Tangan Aruna terangkat, tanda penolakan terhadap intervensi. "Tidak perlu! Pergilah, temui aku saat ... saat istirahat makan siang nanti. Ya, kita bertemu lagi di sini, akan kubelikan apa maumu."
Pria itu kekeh tidak bergeming. Dia malah menarik gagang pel saat ujung lainnya juga ditarik oleh Aruna.
Kedua bola coklat Aruna melotot, kesal sendiri. Sekuat tenaga mengencangkan tarikannya, akan tetapi Aroon lebih keras kepala lagi. Efek sentakan pria itu beri hingga wajah kuyu Aruna berada tepat di depan hidungnya. Embusan napas kedua insan ini berbaur, aroma manis khas kasmaran turut menguar mesra.
"A—Aroon, sebenarnya apa maumu?" tanya Aruna skeptis.
Lirikan tajam si pria naik mengunci netra Aruna yang berputar resah. "Kamu."
Satu kata itu mampu menghujam kalbu tak berdaya kepunyaan Aruna. Dia terpaku, sedang Aroon ikut beku. Meminimalisir kata di antara mereka. Ketika suasana mulai penuh taburan bunga-bunga cinta, kilas adegan singkat dengan Iriawan kembali. Tatapan mesum serta tawa kejinya seolah nyata, jelas dapat dirasa. Napas Aruna terengah, saraf sensoriknya ikut bekerja secara cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARCH: Summer In Your Eyes
Romance[Romansa, Lengkap] •A Month In A Day•• Masa lalu kelam membuat Aruna tanpa sadar menderita bipolar dan penyakitnya itu membawa dampak dalam pekerjaan. Sebagian teman kerjanya di Maret Market menyebutnya sebagai wanita aneh, tetapi Aroon selalu mema...