Ch-19. Komedi Balas Dendam

9 2 0
                                    

Dari ujung kanan sampai pojok kiri, bola-bola cokelatnya mengedar gelisah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari ujung kanan sampai pojok kiri, bola-bola cokelatnya mengedar gelisah. Meneliti pahat wajah tiap manusia yang sibuk lalu lalang, mereka terlihat bergerak cepat sedangkan Aruna seperti terkunci di tempat, riuh dengan pikirannya sendiri. Sejak kejadian tempo hari, wanita itu selalu waspada. Seolah dikurung dalam ruang ketakutan tanpa tepi. Bayang-bayang Iriawan bukan lagi mimpi belaka, dia nyata. Datang bersama tuntutan dendam masa lampau.

Dua belas tahun lalu, Aruna pernah meminta ingin menjadi Cinderella—bahagia. Namun, dia lupa. Bahwa sebelum pangeran datang, Cinderella terus ditempa derita, mengarungi samudera luka. Yang bahkan asal muasal rasa sakitnya dari orang paling dia percaya—ibu sambung.

Dan mungkin sekarang Tuhan tengah mengabulkan impian bodohnya itu, jika Cinderella bisa bahagia bersama putra mahkota, maka tidak berlaku demikian buat Aruna. Baru tersentuh pria saja Aruna kalap. Harapan kosong, entah hal keliru apa yang terjadi padanya.

Sebelah rak sabun, dua pria berparas memikat tampak kaku tanpa suara. Fokus mereka jatuh pada satu titik sama—Aruna. Penuh gelayut iba. Biantara menggeret kerah belakang Aroon ketika pria itu mulai bergerak menuju Aruna, gelengan kepalanya bagai tanda larangan. Jangan harap jika Aroon akan menurut, dia adalah senyawa dengan anugerah berupa keras kepala.

Biantara berdecak kesal, hampir melempar peluru sabun deterjen kepada tempurung ngeyel Aroon.

"Aruna? Apa terjadi sesuatu? Kamu terlihat begitu cemas...." Nada suara Aroon rendah, khawatir wanita itu bakal terkejut.

Aruna agak senewen, sedikit ragu sambil terkekeh hambar. "Aku cuma agak cemas dengan gajiku bulan ini, pasti banyak potongan." Meraih tumpukan popok pada troli besar.

Kemudian wanita itu menyeret langkah guna hindari tanya lebih lanjut dari Aroon. Sebuah manuver cepat harus segera dia pilih. "Permisi, Aroon."

Entah badai apa yang sedang berputar dalam benak cantik wanita itu?

...

"Lama banget sih, hampir tewas nih digigitin nyamuk," keluh Angkasa kala sang kakak sudah di sampingnya dengan wajah penat. Bibir merah pria itu mengerucut, baris omelan juga terus terlontar dari sana.

Tuk

Tengkorak Angkasa bercumbu mesra dengan helm, timpukan Aroon beri. Gerah mendengar suara Angkasa, rasanya dia lebih pantas jadi wanita ketimbang pria, terlalu banyak bicara. "Berisik!" Lantas naik di boncengan ketika Angkasa stater motor menyala.

Sepasang roda menggilas kerikil jalan, menyusuri sepanjang trotoar diiringi konfrontasi kecil yang gemas antara saudara sedarah.

Pukul sembilan Aruna baru bisa lepas dari penat seharian, tusukan hawa dingin tidak terasa karena malam itu pulang jalan kaki. Langkahnya cepat, sadar akan bahaya yang belakangan terus mengintai. Sialan! Sesekali radar wanita itu berputar, melongok kondisi jalanan yang sepi. Hanya satu dua kendaraan melintas, sisanya ramai sahut raungan jangkrik.

MARCH: Summer In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang