Ch-8. Delusi Batin Aruna

8 2 0
                                    

Napas wanita itu terengah ketika kakinya sampai di depan pintu toko

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Napas wanita itu terengah ketika kakinya sampai di depan pintu toko. Dia membungkuk sejenak guna mengatur napasnya yang tampak kelelahan. Sial tentunya, sebab bibinya lagi-lagi melarangnya membawa motor. Yang membuatnya harus berlari agar tidak terlambat.

Hari ini Aruna masuk sift malam, longgarnya jam masuk harusnya bisa dia terapkan. Sayangnya, sang bibi merecoki dengan memintanya mengerjakan beberapa pekerjaan rumah—yang hukumnya wajib untuk selesai sebelum berangkat bekerja.

Aruna memutar tanda tanya dalam benaknya, mendapati suasana toko yang sunyi layaknya tertutup tidak beroperasi. Aneh, karena seingatnya Lianne tidak menginfokan toko akan tutup.

Dia melangkah, menyusuri jajaran rak yang rapi dan bersih. Hanya saja suasana seperti ini tidak akan pernah Aruna jumpai, di mana pengalaman menangani toko yang selalu terdapat pengunjung pada siang hari meski satu atau dua orang pelanggan saja.

Para pegawai, juga tidak terlihat dari segala penjuru toko. Kakinya sampai di rak yang menjadi penghubung menuju kasir berada. Nihil, tidak ada satu pun orang berdiri di balik meja.

Tangannya menggapai saku, meremas isinya saat sayup suara membuat Aruna merinding perlahan. Keberanian tidak Aruna miliki sepenuhnya, tetapi pisau kecil akan membantu menangani masalah karena hari ini Aruna membawanya.

"Hei, kemarilah!" Lega, Aruna mendapati Biantara memanggil dari arah gudang. Semua orang ternyata berkumpul di sana. Beberapa di antaranya mengamati dari pintu termasuk Biantara. "Sini, kita makan kue. Yuki dapat kue dari pacarnya!"

Yuki, nama yang asing bagi Aruna, tetapi tidak untuk Biantara. Pria itu mengenal baik seluruh rekan kerjanya di Maret Market. Tangannya menggapai piring kertas yang pacar Yuki sodorkan untuknya. "Makanlah," ujar Biantara meletakkan sepotong kue coklat untuk Aruna di meja.

Biantara tidak memaksa, tangannya menanti Aruna mengambil sendiri kue di sana. Tepat hitungan ke-sepuluh, wanita itu mengambilnya. Biantara kembali merangsek pada kerumunan, membelah agar dapat sepotong kue untuk dirinya sendiri.

Aruna mengamati dari jarak beberapa langkah, dia menatap kerumunan di sana. "Pantas sepi dari depan, semuanya berkumpul di sini," pikir Aruna. Tadinya wanita itu hendak langsung menuju area belakang di mana kebiasaannya seperti biasa. Meletakkan tas dalam loker karyawan, baru memulai pekerjaan.

Hanya saja ketika masuk tadi instingnya kuat, takut tertipu atau ketinggalan informasi. Sudah berlari karena takut terlambat, toko tutup tanpa Aruna tahu sebabnya. Kalau benar terjadi, sudah pasti Aruna akan merasa kecewa. Tidak lain karena usaha berlari sia-sia. Beruntung Tuhan tidak menggariskan takdir demikian, dirinya bahkan menerima sepotong kue yang tampak lezat.

"Makanlah, Bu Lianne lagi keluar. Kita bisa sedikit santai karena pembeli juga belum ada!" Informasi dari Biantara, Aruna mengangguk pelan menanggapinya.

Mengingat Biantara, Aruna teringat kejadian semalam. "Bagaimana keadaannya? Apakah lukanya cukup parah?"

Senyum dari bibir tipis Biantara muncul, menyiratkan emosi indah yang terlukiskan malam kemarin. Aruna menelepon dirinya setelah sekian lama dia menyimpan nomor wanita itu di ponsel. "Aman, dia tidak sampai masuk rumah sakit. Jangan terlalu khawatir!" tuturnya menenangkan.

MARCH: Summer In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang